top of page
K! EVENT
Recent Posts

Taktik Imitasi Jerman Gulingkan Italia


Final kepagian EURO 2016 menghadirkan laga seru Jerman vs Italia akhirnya dimenangkan Ozil dkk lewat drama adu penalty. Media ramai menyebut ini sebagai laga antara Tim Terbaik kontra Tim dengan Pelatih Terbaik. Ya, anak asuh Loew berisikan generasi pemain terhebat sepanjang sejarah sepakbola Jerman. Sedangkan skuad Italia miskin bakat, tetapi tampil trengginas berkat taktik rigid mumpuni.

Secara fenomenal Italia dengan pemain medioker mampu mengalahkan tim unggulan Belgia dan Spanyol. 1-3-5-2 milik Conte menggemparkan public sepakbola. Menjadikan Italia bukan hanya tim jago bertahan, tapi juga tajam dalam penyerangan terorganisir. Performa Italia kontra Spanyol nyaris tanpa cela. Tanpa kesalahan individu, di atas kertas taktik Conte sulit diredam (Lihat Analisa Taktik Italia di sini).

Jerman Tiru Italia

Begitu peluit kickoff berbunyi, rasa penasaran tentang kontra taktikal Loew terjawab sudah. Penulis langsung teringat pada kisah Film Silat Legendaris “Pedang Langit dan Golok Naga”. Dalam pertemuan di Sekte Ming, sang protagonista Zhang Wuji harus bertarung sengit dengan Biksu Shaolin Yuanying. Dalam adu jurus awal, Wuji memperhatikan Cakar Naga yang diperagakan biksu.

Melihat kehebatan kung fu biksu, Wuji putuskan untuk meniru Cakar Naga Shaolin. Kontan sang biksu kebingungan, seperti harus melawan cermin. Tentu Wuji yang lebih berbakat mengutilisasi Cakar Naga Shaolin lebih baik. Tarung selesai saat Biksu Yuanying mengakui kekalahan. Respect ending terjadi ketika Wuji berkata: “Saya hanya bisa menang dengan ilmu Shaolin. Sebuah ilmu yang hidup sesuai kebesarannya.” (Lihat Video di sini – menit 03:00-08:10).

Loew jelas tak pernah nonton silat, tapi ia jelas mengimitasi taktik permainan Italia. “Dalam beberapa hari terakhir, kami terus menganalisa kekuatan Italia,” ujarnya pada media. Rupanya Loew terkagum dengan racikan taktik Conte dan memutuskan untuk menirunya. Jelas Loew yakin jika Panser memakai formasi, komposisi dan taktik sebelumnya, maka kemenangan sulit diraih.

Italia tetap dengan formasi 1-3-5-2 andalannya. Buffon memimpin lini belakang bersama Barzagli-Bonucci-Chiellini. Kwintet lini tengah diisi oleh De Sciglio, Giacherini, Parolo, Struraro dan Florenzi. Menopang duet Eder dan Pelle. Absennya De Rossi akibat cedera dan Motta akibat akumulasi memaksa Conte menggeser Parolo ke tengah dan memasukkan Struraro.

Loew antisipasi dengan mengimitasi formasi Italia. Formasi 1-4-2-3-1 diubah menjadi 1-3-5-2 juga. Salah satu korban dari perubahan formasi dan skuad kemenangan adalah Draxler. Manuel Neuer mengawal lini belakang bersama trio Howedes-Boateng-Hummels. Lalu Hector dan Kimmich menjadi wingback bersama trio Khedira (Basti)-Kroos-Ozil. Ujung tombak diisi oleh Muller-Gomez.

Diyakini pertimbangan utama Loew mengimitasi formasi Italia adalah seringnya Si Biru mendorong 4-6 pemain ke depan sejajar dengan backline lawannya. Untuk itu jumlah pemain di back line harus ditambah. Dalam hal ini back 3 yang dapat bertransform jadi back 5 lebih menguntungkan. Ini sesuai dengan Teori bek plus satu dari Bielsa. “Jika lawan pakai 3 striker, gunakan back 4. Jika lawan gunakan 2 striker, gunakan back 3,” seru maestro sepakbola Argentina ini.

Mudah Membangun, Sulit Menyelesaikan

Sama seperti saat Italia kontra Spanyol, Jerman juga menggunakan taktik build up konstruktif serupa. Yakni memulai serangan dengan dengan lima pemain. Dimulai dari Neuer lakukan passing pendek pada salah satu dari Hummels-Boateng-Howedes, dibantu Kroos sebagai gelandang jangkar.

Bedanya, Jerman tidak mendorong dua gelandang serang ke depan untuk memblok fullback lawan, sehingga tercipta ruang untuk wingback turun. Loew justru minta Hector dan Kimmich naik. Kondisi ini memaksa Florenzi dan De Sciglio sebagai man-marker harus turun. Konsekuensinya dibawah tercipta ruang yang sangat besar bagi 4 (+1) pemain Jerman untuk lakukan build up. Banyak ruang berarti banyak waktu. Ditambah kehebatan passing game Neuer, segalanya jadi mudah.

Tanpa diduga, proses build up Jerman tak sesulit yang dibayangkan. Di laga kontra Spanyol, Giacherini selalu naik dan menjadikan Italia bermain seperti 1-5-2-3. Di laga ini, Giacherini beberapa kali coba melakukan hal yang sama, tetapi mendapat hasil berbeda. Persoalannya adalah kepiawaian Neuer, serta trio bek Jerman. Saat hadapi press tinggi, Hummels dan Howedes bergerak lebih dalam dan lebar. Akibatnya Eder-Giacherini terstrecth dan terbuka jalur ke Kroos atau Khedira (Basti).

Kapok beberapa kali Jerman mampu memprogresi bola ke depan membuat Italia mengubah cara pressingnya. Italia kemudian lebih banyak mempressing dengan form 1-5-3-2. Dimana Giacherini tak berani lagi naik dan membiarkan situasi 2v3 (Parolo-Struraro vs Kroos-Basti-Ozil) terjadi di tengah. Konsekuensinya terjadi situasi 3v2 (Hummels-Boateng-Howedes vs Eder-Pelle) di area belakang.

Situasi ini memudahkan Jerman membangun serangan progresi ke ½ area lawan. Hummels dan Howedes berkali-kali memiliki ruang untuk men-drive bola dengan dribbling ke depan. Tingginya wingback Jerman menurunkan wingback Italia. Sehingga di lini tengah terdapat situasi 4v3 (Hummels/Howedes-Kroos-Basti-Ozil vs Giacherini-Parolo-Struraro). Tak heran, Panser terus mendominasi penguasaan bola.

Conte sendiri tak berdiam diri. Italia kemudian melakukan penyesuaian taktikal dengan menurunkan Eder ke lini tengah. Sehingga Italia bermain dengan low block 1-5-4-1. Kontra taktik yang sukses meredam penetrasi Jerman. Benar, Jerman mudah membangun serangan. Tetapi, Ozil dkk pusing tujuh keliling untuk lakukan penetrasi membongkar pertahanan trio BBC.

Varian serangan dengan crossing dan adu heading mentah. Sedangkan kombinasi di depan boks, diakhiri long range shooting juga gagal. Satu-satunya pergerakan cantik yang menjadi gol adalah gerakan melebar Gomez manfaatkan ruang di belakang Florenzi. Dengan cekatan, Hector melakukan gerakan underlap di halfspace kiri untuk meneruskan umpan Gomez yang disambar Ozil jadi gol.

Meski sulit membongkar pertahanan Italia, paling tidak Jerman memaksa banyak pemain Si Biru turun. Jerman bisa mengkontrol possession tanpa takut dengan counter attack lawan. Ini terjadi karena dengan kontrol tempo possession, pemain telah berada di posisi ideal bila terjadi transisi negative. Di samping itu, Italia praktis hanya menyisakan Pelle sendirian di depan. Artinya counter attack mereka menjadi tidak terkoneksi erat dengan lini keduanya.

Berlian di Depan

Selain mengimitasi taktik menyerang, Loew juga mengimitasi taktik high pressing Italia. Jika Italia mempressing Tim Matador dengan form 1-5-2-3, maka Loew gunakan form ekstrim 1-5-1-1-3 (Atau 1-3-3-1-3). High pressing Jerman dimotori oleh Ozil-Muller-Gomes-Basti yang membentuk berlian di depan (front diamond). Form ini dibuat Loew mengadaptasi permainan vertical Italia. Dimana lini tengah memang dikosongkan dan banyak pemain maju ke depan.

High pressing Loew sukses berat. Italia sering hilang bola akibat situasi 4v4 di bawah. Di laga kontra Spanyol, wingback Italia yang free selalu jadi jalan keluar. Ini terjadi karena Giacherini dan Parolo naik tinggi ke depan fullback Matador. Taktik ini tak lagi moncer mengingat Jerman telah mengimitasi sistim back 3 Italia. Konsekuensinya, Hector dengan mudah memarking Florenzi yang turun misalnya. Ketika Hector keluar dari back line, keempat bek lainnya bergeser menjadi back 4.

Bukan Conte bila tak jenius. Italia pun beradaptasi dengan mengubah cara build up-nya. Di babak ke-2, Conte justru meminta wingback Italia bergerak lebih tinggi dari biasa. Ini dilakukan agar wingback Jerman juga harus turun lebih dalam. Ruang panjang antara stoper sisi dan wingback ini dimanfaatkan oleh Struraro atau Giacherini yang kini melebar.

Situasi ini beberapa kali memaksa Kroos melebar. Sehingga membuka jalur passing ke Eder atau Pelle. Sekali lagi Pelle membuktikan kelasnya sebagai No.9 Terbaik di EURO 2016. Kemampuannya menahan bola, gunakan kepala dan dada sebagai pemantul amat fantastis. Pelle sulit ditaklukkan. Beruntung, Loew telah mengubah lini belakangnya menjadi back 3 (5). Membuat pertahanan Jerman menjadi lebih berlapis.

Mitos Formasi Kemenangan

Laga Final Kepagian EURO 2016 memberi pelajaran berharga bagi public sepakbola, khususnya di dunia kepelatihan. Sepakbola modern menyajikan permainan dinamis. Dimana pelatih dan pemain harus terus beradaptasi pada situasi baru detik per detik. Pameo “don’t change the winning team” merupakan mitos belaka. Memaksakan diri memainkan formasi dan tim kemenangan untuk lawan berbeda sungguh tidak bijaksana.

Hormat tinggi harus diberikan pada Joachim Loew, yang dengan jeli mengadaptasi formasi dan starting eleven-nya menyesuaikan pada taktik Italia. Ia bahkan tidak malu untuk mengimitasi taktik brilian Conte demi meraih hasil terbaik. Sepakbola top level adalah bisnis mencari kemenangan. Filosofi dan identitas permainan itu penting, tetapi kemenangan adalah di atas segala-galanya.

Adu taktik Loew vs Conte berakhir imbang 1-1 selama 120 menit. Sebuah pertunjukkan elok tentang satu taktik serupa yang dimainkan oleh dua tim berbeda. Pada akhirnya, Joachim Loew kalahkan Italia dengan taktik Conte. Sama seperti Zhang Wuji kalahkan biksu Shaolin Yuanying dengan cakar naga Shaolin. Alangkah indahnya andai Loew kemudian berbisik pada Conte: “Saya hanya bisa kalahkan Italia dengan taktikmu. 1-3-5-2 mu sungguh hidup sesuai kebesarannya!”

@ganeshaputera

*tulisan versi asli dari yang dimuat di bola.com

bottom of page