top of page
K! EVENT
Recent Posts

[Founder's Diary] Meluruskan Teori 10 Ribu Jam di Sepakbola!


Pada tahun 1993, Anders Ericsson – professor Florida State University melakukan riset tentang pengembangan talenta. Ia melakukan riset pada pemain biola terbaik di Berlin Music Academy. Hasilnya menakjubkan, pemain biola terbaik umumnya menghabiskan sekitar 10.000 jam untuk berlatih. Sedangkan pemain biola biasa-biasa saja hanya mendedikasikan 5.000 jam untuk latihan biola.

Riset Ericsson berikutnya dilakukan pada pemain piano. Hasilnya pun lebih mencengangkan. Kembali, pemain piano top juga mendedikasikan lebih dari 10.000 jam untuk berlatih. Sebaliknya pemain piano amatiran kebanyakan hanya berlatih tak lebih dari 2000 jam. Riset Ericsson ini kemudian mendunia setelah Malcolm Gladwell dalam buku “Outliers” mengupas teori 10.000 jam ini.

Gladwell mengambil suatu kesimpulan sederhana, bahwa seseorang dapat menjadi master pada suatu bidang apabila berlatih lebih dari 10.000 jam. Ini bukan hanya berlaku pada music, tetapi juga pada semua bidang. Termasuk seni, olahraga, bisnis, bahkan industry manufaktur. Teori Ericsson kemudian disebut dengan “The Power of Practice”.

Aplikasi Sepakbola

Pertanyaannya, apakah teori 10.000 jam juga berlaku untuk sepakbola? Jawabannya TENTU SAJA! Secara filosofis, sama seperti di bidang apapun, untuk menjadi master dan sukses dibutuhkan KERJA KERAS dalam proses yang amat panjang. Selain itu proses menjadi pemain sepakbola top level juga berliku alias begitu sulit.

Hanya saja menurunkan filosofi teori 10.000 jam pada aplikasi sepakbola membutuhkan penyesuaian dengan karakteristik dan tuntutan permainan sepakbola. Seringkali teori 10.000 jam diaplikasikan secara mentah-mentah di sepakbola. Akibatnya, teori ini dianggap seperti tongkat sulap yang bila diketuk terus selama 10.000 jam akan tercipta pemain sepakbola top professional.

Kesalahan aplikasi yang pertama adalah terjebak pada angka 10.000 jam latihan formal. Memenuhi jumlah 10.000 jam latihan formal bukan perkara mudah, sebab itu berarti latihan 2 jam 44 menit setiap hari selama 10 tahun. Jumlah yang mustahil dipenuhi ssb/klub. Rasmus Ankersen, seorang antropolog olahraga mengatakan bahwa berlatih 10.000 jam bukanlah secara harafiah diartikan sebagai latihan formal yang terorganisir. 10.000 jam adalah pola pikir yang didedikasikan pada bidang yang digeluti.

Menerjemahkan Ankersen, 10.000 jam tidak diartikan sebagai jumlah latihan di ssb formal yang harus dilakukan pemain. Melainkan seluruh kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan sepakbola. Ini termasuk saat anak bermain di jalanan dengan gawang sandal jepit. Bahkan saat anak bermain menendang bola menjatuhkan pot tanaman. Pada konteks pembinaan elit, 10.000 jam juga termasuk saat pemain melakukan extra self training, recovery training, pembuatan rencana pribadi, hingga sesi analisa video.

Problem lain pada aplikasi teori 10.000 jam latihan pada sepakbola adalah kesalahan implementasi self training. Teori 10.000 jam mendorong pelatih meminta pemainnya untuk melakukan self training yang keliru. Sepakbola adalah olahraga tim, dimana sebuah aksi bukanlah aksi tunggal, melainkan interaksi dengan kawan dan lawan.

Suatu aksi sepakbola terjadi selalu bermula dari komunikasi pemain dengan sekitarnya (kawan dan lawan). Kemudian berdasarkan komunikasi tersebut, pemain mengambil keputusan, lalu mengeksekusinya. Dalam konteks produksi aksi, sepakbola berbeda dengan loncat indah indah misalnya. Di loncat indah, atlet mengeksekusi gerakan. Sedangkan di sepakbola, pemain mengeksekusi keputusan hasil dari komunikasi dengan kawan dan lawan.

Berdasarkan karakteristik sepakbola tersebut, latihan sepakbola terbaik senantiasa melibatkan kawan dan atau lawan. Jadi, masihkah self training diperlukan dalam olahraga tim seperti sepakbola? Jelas perlu! Hanya saja self training juga harus berangkat dari analisa sepakbola. Sehingga latihan yang dilakukan menjadi tepat guna dan sesuai dengan kebutuhan individu dalam tuntutan permainan.

Salah satu role model self training adalah Cristiano Ronaldo. Pemain terbaik dunia ini dikenal sebagai atlet yang sering “manambah” porsi latihan dengan self training. Banyak artikel teori 10.000 jam selalu gunakan CR7 sebagai contoh. Artikel tersebut kemudian menginspirasi banyak pemain muda di seluruh dunia untuk juga lakukan self training. Sebuah inspirasi luar biasa!

Sayangnya, tak semua pemain kemudian mendapatkan manfaat layaknya CR7. Apa penyebabnya? Dalam suatu artikel di Telegraph, diceritakan kisah tentang begitu besarnya peran Rene Muelensteen, pelatih teknik individu MU terhadap kemajuan Ronaldo. Muelensteen memberikan pendidikan pada Ronaldo tentang metodologi latihan sepakbola. Ia berikan berbagai klip video Ronaldo dan mulai menganalisa efisiensi gerak terkait dengan taktik tim.

Rene meyakinkan CR untuk pertama mengubah sikapnya untuk lebih berorientasi pada taktik tim. Kemudian dalam konteks taktik tim, seorang individu harus melakukan aksi yang efektif. Sejak itu, CR melakukan self training dengan model yang sama. Ia menambah berbagai latihan teknik sesuai kebutuhan taktik tim. CR menjadi maniak self training!

Ini ialah jawaban mengapa tidak setiap pemain yang lakukan self training mendapat manfaat yang sama seperti CR. Ya, kebanyakan pemain melakukan self training hanya untuk mengejar 10.000 jam. Tetapi tidak memperhatikan content self trainingnya. Banyak pemain kemudian melakukan suatu latihan yang sebenarnya malah tidak berhubungan dengan sepakbola.

Misal seorang striker melakukan self training shooting dengan menjejerkan 10 bola di depan kotak penalty. Padahal taktik tim menuntut striker, untuk melebar dan menusuk dari sayap. Atau seorang pesepakbola yang gemar “nambah” lari keliling lapangan dengan satu tempo dalam waktu lama. Lalu Mourinho pun menyindir ekstrim, “saya tak pernah melihat pemain piano yang berlari mengelilingi piano untuk menjadi seorang maestro!”

Kualitas Latihan

Hal lain yang perlu diluruskan pada aplikasi 10.000 jam di sepakbola adalah kualitas dan progresi latihan. Teori 10.000 jam latihan seringkali juga dipersepsi keliru dengan mengedepankan kuantitas ketimbang kualitasnya. Kuantitas latihan dianggap tongkat sulap yang bila terpenuhi jumlahnya pemain akan menjadi jago.

Pada konteks bermain piano, mungkin teori ini lebih mudah teraplikasi. Akan tetapi, bukan cerita sama di sepakbola. Sebab sekali lagi sepakbola adalah olahraga tim yang di dalamnya mengedepankan interaksi dengan kawan dan lawan. Artinya jutaan jam latihan sekalipun takkan mencetak pesepakbola top level dunia, apabila pemain tersebut tidak melakukan latihan sepakbola dengan kawan dan lawan berkualitas.

Tak heran, Irfan Bachdim yang berangkat dari sepakbola amatir Belanda, dengan klub yang hanya berlatih 2-3 kali per minggu mampu menjadi bintang di Indonesia. Padahal, tim nasional berisi pemain pro Indonesia yang terbiasa berlatih setiap hari pagi dan sore. Ini terjadi karena Irfan terbiasa berinteraksi dengan kawan dan lawan lebih berkualitas. Kualitas latihan dan pertandingan menjadi pembeda!

Hal penting lain adalah progresi latihan. 10.000 jam latihan menjadi sia-sia apabila latihan hanyalah pengulangan belaka. Seorang pemain piano sekalipun takkan menjadi maestro bila berlatih 10.000 jam dengan satu lagu yang sama. Logikanya, awalnya pemain piano akan berlatih lagu yang mudah, kemudian meningkat ke lagu sulit hingga menjadi maestro.

Logika sederhana ini sering tidak terjadi di sepakbola Indonesia. Menjadi pemandangan umum, pemain berlatih itu-itu saja dalam jangka waktu yang lama. Salah satu contoh mudah adalah latihan 4v2. Pemain usia 14 tahun hingga senior di Indonesia seringkali terus berlatih 4v2 dengan ukuran lapangan yang sama. Seharusnya progresi dilakukan dengan mengecilkan area bermain.

Metafora yang sering digunakan adalah fenomena Driving Skill Trap. Saat awal seseorang belajar mengemudi, ia akan alami lonjakan performa mengemudi luar biasa. Sampai pada satu titik mahir mengemudi, lonjakan performa menjadi stagnan, bahkan menurun. Mengemudi berjam-jam hingga bertahun-tahun ternyata tidak meningkatkan kemampuan mengemudi. Jelas tidak mungkin menjadikan pengalaman mengemudi tersebut sebagai modal jadi pembalap!

Inilah yang terjadi di sepakbola, bila 10.000 jam dilakukan tanpa progresi. Jutaan jam terus berlatih 4v2 di area 15x10m takkan mencetak maestro sepakbola. Sebab tuntutan sepakbola top level adalah sedikit ruang sedikit waktu. Ibaratnya, bukan mengemudi di jalan raya, tapi di sirkuit. Untuk itu latihan harus juga dikembangkan bukan sekedar diulang-ulang.

Kesimpulan akhir tulisan ini begitu sederhana. Pesan terbesar teori 10.000 jam adalah untuk mencetak pesepakbola top level dibutuhkan kerja keras dengan proses panjang berliku. Hanya saja pelatih dan Pembina tidak boleh terjebak pada angka 10.000 jam saja. Lebih daripada itu, harus juga mampu mengaplikasikan teori tersebut sesuai konteks dan tuntutan sepakbola.

Ganesha Putera Founder KickOff! Indonesia

*Per Senin, 3 Agustus 2020, KickOff! sajikan rubrik baru bertajuk "Founder's Diary". Namanya juga diary, maka ya harus terbit setiap hari. Ya, ini semacam rangsangan berkomitmen untuk menulis setiap hari. Sebuah kebiasaan baik di masa lampau yang kini mulai pudar. Dukung usaha pelestarian kebiasaan baik ini dengan membacanya setiap hari! Selamat menikmati!

bottom of page