top of page
K! EVENT
Recent Posts

Pembinaan Pemain Berbakat ala Feyenoord Academy


Seri Kunjungan ke Feyenoord Academy - Bagian 1

“Tugas kami bukan memenangkan juara di level junior. Tugas kami membawa talenta terbaik ini menuju sepakbola topprofesional sebaik mungkin dan secepat mungkin” – Stanley Brard

Penggalan kalimat provokatif Stanley Brard, Academy Direcktor Feyenoord terasa mendalam bagi yang berkecimpung di pembinaan sepakbola usia muda. Hakekat pembinaan sepakbola usia muda bukanlah mencetak tim juara, tetapi mencetak pemain-pemain yang mampu melangkah ke level top profesional. Brard tidak sedang menghibur diri dengan kalimat pemanis bibir. Feyenoord Academy telah membuktikannya dengan berhasil menempatkan 19 dari 26 pemain tim utama dari produk akademi sendiri. Hebatnya, nama tenar seperti Stefan de Vrij, Martins Indi, Clasie,Vilhena atau Janmaat rata-rata telah berada di Feyenoord Academy sejak umur 8-10 tahun.

Diluar nama punggawa Feyenoord yang kini juga menghiasi timnas Belanda tersebut juga masih terdapat alumni akademi lain di klub papan atas Eropa. Seperti Wijnaldum (PSV), Castaignos (Inter), Nathan Ake (Chelsea) dan Karim Rekik (Manchester City). Feyenoord Academy ibarat “toko permen” bagi klub papan atas Eropa. Penjualan talenta muda ke luar dan penggunaan produk akademi di tim utama telah melepaskan Feyenoord dari utang 14 juta Euro menjadi klub berkeuangan sehat. Setelah satu dekade keluar dari percaturan persaingan top level Belanda, kini kembali bersanding dengan Ajax dan PSV.

Feyenoord Academy pun berhasil meraih Rinuls Michels Award dari KNVB sebagai The Best Youth Academy in Holland selama 3 musim berturutan terakhir. Tulisan ini mencoba membeberkan rahasia dapur Feyenoord Academy dari kegiatan Football Academy Course yang disponsori oleh World Football Academy. Kebetulan penulis begitu beruntung menjadi satu dari lima peserta yang mendapatkan kesempatan berharga mengikuti kursus ini. Peserta kursus lainnya berasal dari Belgia, Bulgaria, Skotlandia dan Jepang.

Revolusi Besar

Sukses Feyenoord Academy bukan sihir semalam. Semuanya berawal saat Stanley Brard kembali dari Jepang untuk menukangi akademi klub tempat dia dibesarkan. Ketika itu, situasinya sangat sulit. Feyenoord Academy sangatlah terkenal! Terkenal akan ketidakmampuannya mencetak pemain ke level profesional. Padahal sebagai klub bernama besar dari sebuah kota besar yang heterogen, Feyenoord Academy selalu tak pernah kekurangan pemain berbakat. Rupanya kehadiran pemain berbakat tersebut tak mampu diantarkan ke sepakbola level profesional.

Persoalan terbesar yang dihadapai Feyenoord Academy saat itu adalah terlalu meprioritaskan kemenangan di atas segalanya. “Menang adalah sebuah keharusan, tetapi kemenangan di usia muda itu boleh mengorbankan proses belajar pemain menuju ke level yang lebih tinggi,” tutur Brard. Pria kelahiran Indonesia tersebut sempat mengisahkan kebiasaan “sidang” yang digelar Direktur Akademi pada pelatih yang timnya kalah. “Situasi yang amat mengerikan dan tidak sehat,” tambahnya.

Persoalan lain yang dihadapi Feyenoord Academy adalah padatnya kegiatan pemain. Sampai usia 12 tahun, pemain berlatih 4x plus 1 gameper minggu. Lalu sejak 13 tahun ke atas, mereka berlatih 6x plus 1 game perminggu. Padatnya jam latihan dan pertandingan masih ditambah banyaknya jumlah turnamen di hari libur, serta kegiatan tim nasional. Di samping itu, pemain juga masih harus tetap menjalankan kegiatan sekolah dan perjalanan dari rumah ke lapangan dan sekolah melelahkan.

Singkat cerita, pemain Feyenoord Academy banyak yang mengalami burn out. Diantara mereka banyak yang layu sebelum berkembang maksimal. Angka terjadinya cedera di usia muda juga sangatlah tinggi. Persoalan inilah yang kemudian disimpulkan Brard sebagai biang keladi kegagalan Feyenoord Academy mencetak pemain ke level profesional. “Kami memiliki banyak pemain berbakat, tetapi tak cukup mengelolanya dengan baik,” seru Brard serius.

Visi Baru

Berangkat dari analisa tersebut, Brard dan seluruh staf akademi merumuskan visi baru. Sebuah visi yaitu mengembangkan talenta muda berbakat untuk dapat menuju ke sepakbola top profesional sebaik mungkin dan secepat mungkin. Visi ini kemudian diturunkan menjadi beberapa poin. Pertama, pengembangan talenta individu adalah prioritas nomor satu. Kemenangan tim adalah penting, tetapi tidak boleh mengorbankan pengembangan talenta individu. “Pada akhirnya pemain yang akan naik ke atas, bukan tim,” tutur Brard bijak. Pengembangan individu ini juga harus diikuti dengan pengembangan pelatih di usia muda. “Untuk mengembangkan pemain hebat, kita butuh pelatih hebat juga,”simpulnya.

Visi lain adalah mengembangkan latihan sepakbola di Feyenoord Academy selalu dengan intensitas puncak. Visi latihan ini didasari pemikiran bahwa yang membedakan sepakbola level rendah dan tinggi adalah masalah intensitas permainan. Makin tinggi levelnya, makin tinggi intensitas permainannya. “Sepakbola top level tinggi intensitasnya, karena tidak banyak ruang dan waktu,” jelas Brard. Untuk itu latihan di Feyenoord Academy harus senantiasa berada pada intensitas puncak. “Ini dibuat untuk mendekatkan gap antara akademi dan tim utama,”paparnya gamblang.

Visi terakhir adalah mengembangkan pemain dan permainan sepakbola berbasiskan pada cepat berpikir, cepat bergerak dan cepat passing demi mendapatkan permainan tempo tinggi. Kecepatan berpikir, kecepatan bergerak dan kecepatan passing adalah ramuan untuk eksis di sepakbola top level. “Semua pola di akademi berbasiskan pada visi ini,” jelas mantan pemain Feyenoord ini.

Untuk wujudkan visi baru ini, Feyenoord Academy melakukan revolusi besar-besaran pada pola latihan mereka. Brard mengurangi frekuensi latihan hanya menjadi 2x per minggu untuk pemain O10 ke bawah. Lalu, untuk O11 sampai O13 Cuma 3x seminggu. Puncaknya O14 ke atas cukup berlatih 4x seminggu. Tujuan pengurangan frekuensi latihan ini adalah untuk membawa latihan pada intensitas puncak. Dengan sedikitnya jumlah latihan, pemain memiliki waktu recovery panjang. Kesegaran ini memungkinkan pemain melakukan top aksi 101 persen pada setiap sesi latihan. Sebelumnya banyak latihan membuat kualitas latihan menurun akibat kelelahan. “Mustahil pemain beradaptasi dengan sepakbola top level bila latihan dalam intensitas tidak puncak” pungkas Brard lagi.

Untuk mendapatkan intensitas puncak, Brard juga memotong durasi latihan dari 2-3 jam hingga cukup 1 hingga 1,5 jam. Feyenoord Academy juga menghilangkan kebiasaan melakukan peregangan statis dan juga pendinginan untuk memaksimalkan waktu sepakbola dalam latihan. Dalam riset, ditemukan peregangan statis dinilai kurang cocok pada sepakbola yang membutuhkan banyak gerak pliometris. Peregangan statis dianggap dapat mengurangi eksplosivitas pemain.

Banyaknya waktu recovery akibat sedikitnya frekuensi latihan membuat cooling down juga tak lagi dianggap menjadi prioritas. Perdebatan mengemuka saat banyak peserta kursus menyodorkan ide menambah durasi latihan 15-20 menit lebih lama untuk cooling down. Atas ide tersebut, Brard menganggap lebih baik 15-20 menit waktu tambahan itu difokuskan untuk mandi, makan lalu ke sekolah atau pulang ke rumah.“Kami berpendapat tiba di sekolah atau berada dengan keluarga 15-20 menit lebih awal jauh lebih berharga daripada cooling down,” ucapnya menasehati. “Pada akhirnya, kami telah lakukan ini selama 8 tahun terakhir dari Akademi hingga tim Utama. Kami sangat bahagia dengan pola ini,” tanggapnya lagi.

Menyamakan Visi

Menyamakan visi baru di seluruh organisasi Feyenoord Academy merupakan pekerjaan berat. Mengingat Feyenoord Academy merupakan organisasi besar. Stanley Brard memimpin organisasi yang terdiri dari 350 orang. Rinciannya 30 pelatih, spesialis dan staf. Tiap tim selalu dipimpin 1head coach, 1 asisten yang merupakan head coach tim lain, serta asisten pelatih sukarelawan. Keberadaan pelatih diperkuat spesialis: pelatih koordinasi dan kekuatan, ahli gizi, psikolog, fisioterapis, talent scouter dan analis video. Lalu sekitar 250-an pemain dari Tim O8 hingga O19. Tiap tim di Feyenoord Academy selalu berkekuatan 16-20 pemain. Ditambah lagi sekitar 100 sukarelawan yang terlibat menghidupkan denyut akademi.

Untuk selalu konsisten menjalankan visi akademi, para pelatih dan spesialis melakukan rapat tiga kali per minggu. Rapat awal adalah tiap Senin pagi jam 7.30. Di rapat ini pelatih melaporkan seluruh kegiatan minggu sebelumnya dan mengkonsultasikannya dengan para spesialis. Di rapat ini lalu dirumuskan perencanaan umum seminggu ke depan. Lalu Senin jam 11.00, rapat untuk mengevaluasi Game di hari Sabtu sebelumnya. Terakhir, Jumat jam 7.30 rapat untuk persiapan pertandingan Sabtu. Di sinilah pelatih merencanakan apa yang akan dibuat dalam pertandingan.

Menariknya rapat Senin tentang evaluasi game selalu terfokus pada individu demi individu. Tentunya bukan skill individu pemain, tetapi perkembangan individu dalam permainan 11v11. Baik saat menyerang, bertahan maupun transisi. Kolega dari Bulgaria sempat terjebak saat ditanya Stanley Brard tentang analisa pertandingan antara Feyenoord O15 v Sparta O15. Kebetulan tim Feyenoord O15 dilatih oleh RoyMakaay dan menang 3-1 .

Ia berpendapat Feyenoord main 4-3-3 dengan dua gelandang bertahan. Tetapi saat lawan build up, pemain No.8 selalu naik untuk pressing sehingga ada dua gelandang serang. Lalu saat lawan tidak build up, Feyenoord kembali main dengan dua gelandang bertahan. Saat transisi positif, Feyenoord bermain direct ke striker, lalu diikuti support cepat dari lini kedua. Proses inilah yang banyak membuahkan peluang dan gol.

Salah satu poin analisa taktikal panjang lebar tersebut dipuji habis oleh Brard dengan mengatakan “Analisa hebat, tetapi kami punya cara berbeda,” sindirnya. Alih-alih menganalisa cara bermain Feyenoord (how Feyenoord play), mereka mementingkan analisa pada bagaimana setiap individu bermain (how player play). Brard mencontohkan, pembahasan pemain No.8 adalah pemain tersebut sangat baik dalam kecepatan naik ikut press dan turun menjaga daerah. Hanya saja pemain No. 8 selalu salah dalam mengarahkan pressing. Ia belum mampu memutuskan pengarahan pressing yang paling menguntungkan.

Pemain No. 9 (striker) sangat baik dalam menahan bola menunggu support datang. Tetapi ia harus bisa memutuskan kapan ia tidak selalu harus menunggu, tetapi berputar dan mengambil resiko 1v1. Brard lalu menjelaskan analisanya pada kiper, pemain no 2, 3, 4 hingga 11 dan kamipun terpengarah. Brard menjelaskan bahwa kita tidak sedang menganalisa taktik Roy Makaay dan membuat kontra taktiknya. Akan tetapi kita sedang menganalisa bagaimana tiap individu 11 pemain terus berkembang dalam game 11v11.

Kesempatan Bermain

Salah satu terobosan lain yang dibuat Feyenoord Academy adalah soal jadwal latihan. Di sana, selalu ada dua tim yang latihan dihari dan jam yang sama (dua lapangan bersebelahan). Jadwalnya adalah O8 dan O9,O10-O11, O12-O13, O14-O15, O16-O17 dan O18 dengan O19. Tujuan dari strategi penjadwalan ini adalah memuluskan koordinasi antar pelatih. Tim O15 misalnya, mayoritas pemainnya merupakan pemain tim O14 musim sebelumnya. Lalu tim O15 musim berikut, pemainnya berasal dari tim O14 musim ini. Di samping memuluskan koordinasi antar pelatih, strategi dua tim kelompok umur berurutan berlatih bersama adalah untuk memudahkan organisasi latihan taktik Game 11v11 yang mereka lakukan setiap hari Kamis (lebih lanjut di tulisan Periodisasi Akademi).

Pengelolaan talenta juga menjadi sangat penting. Salah satu faktor pemain dapat berkembang adalah kesempatan bermain dalam kompetisi. Feyenoord memiliki kebijakan pemerataan menit bermain sampai dengan O14. Di akhir musim, semua pemain sampai dengan O14 pasti akan memiliki menit bermain di kompetisi dengan jumlah yang tak jauh berbeda satu sama lain.

“Kami tidak pedulikan lawan, di kelompok tersebut kami terus lakukan rotasi,” terang Brard. Untuk Tim O15, Feyenoord berkomitmen menurunkan tim terbaik. 11 pemain terbaik minggu tersebut berhak bermain lebih banyak. Pada akhir musim, diantara pemain tim O15 pasti terjadi kesenjangan menit bermain yang cukup lebar satu sama lain. Uniknya, Feyenoord Academy kembali menerapkan pemerataan menit main di O16, tim terbaik di O17, pemerataan menit main di O18 dan kembali tim terbaik di O19.

Kebijakan cerdas ini dibuat untuk menjaga keseimbangan antara pemupukkan talenta dan pengembangan mentalitas profesional. Talenta harus dipupuk dengan cara mencobanya di kompetisi. Di O16 dan O18, Feyenoord Academy memutuskan kembali memberikan pemerataan, karena di sepakbola usia muda, selalu ada pemain yang perkembangannya lambat. Pemain yang diistilahkan sebagai “late developer” ini berhak mendapatkan kesempatan bermain.

Kebijakan pemupukkan talenta juga harus diikuti pendidikan mental profesional di kalangan pemain muda. Esensi sepakbola profesional adalah persaingan untuk mendapatkan tempat utama dengan cara menjadi yang terbaik. Pemain harus dididik untuk sportif menghargai pemain lain yang lebih baik. Juga respect tentang apapun keputusan pelatih, baik dimainkan maupun dijadikan cadangan.

-Bersambung-

bottom of page