“Penantian Spanyol menjadi Juara Piala Dunia berakhir sudah. Sukses tim matador bukan kebetulan belaka, melainkan gabungan antara kerja keras, kesabaran dan konsistensi membangun sepakbola sejak usia muda”
Kunjungan ke negeri matador membuahkan beragam cerita menarik. Utamanya bagaimana Spanyol membangun sepakbolanya sejak usia muda demi mencapai level dunia. Kunjungan delegasi kami disponsori oleh Fundacion Marcet, sebuah yayasan yang bergerak dalam pendidikan sepakbola. Selain mendidik anak-anak di Barcelona, yayasan ini juga secara konsisten melebarkan sayapnya untuk menularkan ilmu sepakbola ke seluruh dunia. Utamanya ke negara-negara yang sepakbolanya belum maju.
Selama di Barcelona, kami melakukan kursus manajemen dan kepelatihan usia muda sambil terlibat langsung dalam kursus musim panas yang diadakan Fundacion Marcet bagi sekitar 300 anak-anak dari belasan negara. Diantaranya Jerman, Portugal, Inggris, Yunani, Rusia, Jepang, Lebanon, Amerika Serikat, Brasil, Meksiko dan tentu saja Indonesia.
Selain kursus di pusat latihan Fundacion Marcet , kami juga melakukan kunjungan dan observasi ke pusat latihan tim FC Barcelona (Ciudat Esportiva Joan Gamper) dan RCD Espanyol (Ciudat Esportvia RCDE). FC Barcelona Museum dan Nou Camp yang kesohor juga menjadi tempat yang kami sasar. Untuk pertandingan, kami menikmati partai pre season antara RCD Espanyol kontra Sampdoria di Cornella Stadium yang cantik. Perjalanan menjadi paripurna setelah kami menyempatkan diri menengok geliat sepakbola Madrid yang terkenal dengan Real Madrid dan Atletico Madrid-nya.
Banyak kesimpulan yang kami rangkum sepulang dari Spanyol. Tetapi kami berusaha merangkainya ke dalam enam aksara yang secara kebetulan datangnya dari nama asli negara Spanyol sendiri. Kami menyimpulkan resep sukses Spanyol membangun sepakbolanya terletak pada E-S-P-A-N-A. Yakni:
E = Enthusiasm at highest level
S = Superb Organization
P = People Competency
A = Amazing Facilities
N = Number of competitive matches beyond the limit
A = Attitude of Winning
Enthusiasm at highest level
Orang Spanyol tidak menyukai sepakbola, juga tidak menggemari sepakbola. Orang Spanyol menggilai sepakbola. Kalimat ini yang mungkin tepat menggambarkan antusiasme masyarakat Spanyol terhadap sepakbola. Suasana ini langsung dirasakan setibanya kami di Bandara Spanyol. Sebuah toko Adidas di sudut bandara menggantung kaos raksasa timnas Spanyol. Di kota, hampir seluruh rumah, toko, kantor dan instansi memasang bendera Spanyol atau pernik merah kuning sebagai penghargaan atas sukses Puyol dkk.
Di Fundacion Marcet, kegilaan pada sepakbola makin terasa. Satu seri kursus berdurasi sepuluh hari ini diikuti 300an anak. Gilanya saat pembukaan hampir seluruh orang tua pemain mengantar anaknya. Jadilah pusat latihan Fundacion Marcet yang seluas 10 hektar tsb terasa sempit dipenuhi orang.
Kursus yang selesai pukul 6 sore dimanfaatkan oleh manajemen yayasan untuk menyewakan lapangan pada pihak luar. Alhasil, delapan lapangan sintetis Fundacion Marcet selalu dipenuhi penyewa. Mereka biasanya dari grup kantor, klub komunitas hobi ataupun sekelompok pemuda penggila bola. Hingar bingar permainan sepakbola tak terasa bisa terjadi hingga jam 2 malam.
Antusiasme makin terasa saat berjalan-jalan di pusat kota. Kaos FC Barcelona tercecer dimana-mana. Tak jarang kami menemui seorang bayi dalam kereta keranjang mengenakan topi, baju, celana, kaos kaki dan sepatu FC Barcelona. Jangan salah, semuanya asli dengan tanda centang NIKE warna kuning. Kami bergumam, ”kalau sudah sempit, mau dikemanakan bajunya?”
Superb Organization
Sepakbola Spanyol ditopang oleh organisasi yang kuat. Karakter organisasi yang dikedepankan adalah struktur yang efisien dan sistem kerja yang efisien. Salah satu contoh yang dominan ialah pekerjaan yang bisa dikerjakan sedikit orang tidak perlu dikeroyok ramai-ramai. Percaya atau tidak, pusat latihan yayasan seluas 10 hektar hanya dijaga dan dipelihara oleh satu orang saja. Fernando, imigran asal Bolivia ini memegang kunci seluruh ruangan, membersihkan areal, membuka tutup 48 kamar ganti, menunggui penyewa hingga pagi buta dan sesekali jadi supir antar jemput.
Residence yang bisa menampung sekitar 100an orang juga hanya dikelola satu orang. Kantor Fundacion Marcet tidaklah besar. Sekitar 4-5 orang bekerja di sana. Mereka mengurusi administrasi, keuangan, legal, dan berbagai tetek bengek lainnya. Salah satu petugas kantor juga sering merangkap menjadi MC bila dilangsungkan pertandingan.
Untuk urusan latihan, yang terjadi adalah sebaliknya. Jumlah pelatih amatlah banyak. Ada sekitar 30 orang. Satu orang pelatih hanya memegang tak lebih dari 8-15 orang pemain. Sehingga setiap pelatih bisa bekerja lebih fokus mengatasi problema pemain. Juga sangat intens berkomunikasi dengan pemain maupun orang tuanya.
Kondisi ini tentunya amat kontras bila dibandingkan di Indonesia. Untuk latihan semua serba diirit-irit. Terkadang tim tidak punya pelatih fisik, pelatih kiper, fisioterapis, dll. Tetapi di manajemen terdapat puluhan orang yang banyak bicara, sedikit bekerja. Salah satu delegasi kami teringat kejadian saat tur di Medan. Timnya datang ke stadion dengan dua bus. Satu bus untuk 23 pemain dan 5 official, sedangkan satu bus lagi untuk 27 orang pengurus. Luar biasa!!
People Competency
Soal SDM, Spanyol juga tiada duanya. Organisasi mereka dengan sistim dan standar operasi apik ditopang juga oleh orang-orang yang berkompeten. Tampak sekali semua pihak mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya, serta mengerjakan segala sesuatunya dengan disiplin dan profesional.
SDM pelatih di Fundacion Marcet juga rata-rata memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan lisensi yang dimiliki. Beberapa kolega pelatih yang bertugas di sana sempat kami tanyai lisensinya. Kebanyakan mereka telah memiliki Lisensi Level 2 RFEF (PSSI nya Spanyol) atau ekuivalen dengan UEFA B License. Beberapa rekan dari delegasi Indonesia yang telah memiliki A License merasa lega karena ternyata pelatih Indonesia tidak kalah dalam hal sertifikasi.
Kelegaan dan kebanggaan itu hanya sesaat saja tertanam di hati. Setelah mendengar cerita, tersibaklah bahwa klub Technofutbol yang dimiliki yayasan ini ternyata hanyalah klub kecil. Dalam hal strata, beberapa kelompok umur masih berada di Seguda Division Liga Catalonia. Kamipun jadi berpikir, ”kalau klub kecil aja kayak gini, punya fasilitas yahud, organisasi solid dan yang ngelatih anak kecil sudah B License, gimana klub besarnya ya?”
Benar saja, rasa penasaran kami terjawab saat mengunjungi FC Barcelona dan RCD Espanyol. Ciudat Esportiva Joan Gamper milik Barcelona besarnya tak kepalang. Fasilitas RCD Espanyol juga begitu lengkap dan canggih. Kebanyakan pelatih di klub dan akademi papan atas telah menggenggam lisensi Level 3 RFEF (A License). Sebagian besar merupakan mantan pemain yang lama mengabdi di klub tersebut. Ivan de La Pena, legenda Spanyol di RCD Espanyol telah digadang untuk melatih salah satu tim.
Amazing Facilities
Fasilitas merupakan harga mati faktor yang membuat sepakbola Spanyol begitu maju. Pusat latihan Fundacion Marcet dilengkapi dengan 8 lapangan rumput sintetis, 48 kamar ganti, 1 kolam renang ukuran olimpik, ruang audio visual, kantor dan ruang makan. Tempat tinggalnya terdiri dari 5 hall yang total semuanya dapat menampung sekitar 100 anak.
Fasilitas yang buat kami terlihat amat mewah untuk latihan sepakbola ini, rupanya merupakan sesuatu yang standar dan biasa-biasa saja untuk klub dan akademi sepakbola di Spanyol. Rasa heran makin menjadi ketika mengunjungi pusat latihan FC Barcelona dan RCD Espanyol yang jauh lebih besar, dengan kelengkapan fasilitas lebih canggih.
Kamipun sontak prihatin jika teringat fasilitas yang digunakan klub Persija misalnya. Klub kebanggaan warga ibukota yang katanya elit dan super kaya itu tak memiliki lapangan latihan permanen. Lapangan latihan di Ragunan tak beda dengan kubangan. Begitu pula juga Stadion Lebak Bulus yang rumputnya menghitam bila dipakai selepas hujan. Jika Persija saja kesulitan fasilitas latihan, bagaimana dengan fasilitas untuk klub amatir dan SSB? Malu kami menjawabnya.
Number of Competitive Matches Beyond Limit
Jumlah frekuensi pertandingan kompetitif dari mulai usia muda hingga senior menembus batas. Artinya sejak dini, pemain memang dibiasakan belajar dan matang di kompetisi. Pembagian kelompok umur amatlah teratur. Usia 7-8 tahun disebut Eskul, usia 9-10 tahun Benjamin dan usia 11-12 tahun Alevin. Sedangkan 13-14 tahun dinamai Infantil, 15-16 tahun Cadete dan 17-18 tahun Juvenile.
Mulai kelompok Benjamin, anak-anak Spanyol terbiasa dengan Liga. Untuk propinsi Catalonia saja, mereka memiliki Liga yang untuk tiap kelompok umur punya beberapa divisi. Totalnya bisa terdapat 8 grup, dengan masing-masing 16 tim tiap grup. Di tiap grupnya mereka bermain dalam sistim kompetisi penuh. Promosi dan degradasi terjadi pada pertengahan musim.
Uniknya, dari mulai kelompok Benjamin hingga Cadete, tidak dikenal Juara Spanyol. Karena tim-tim hanya bermain di wilayahnya masing-masing. Baru pada level Juvenile terdapat puncak berupa divisi nasional berstatus semi pro dengan 18 tim yang berkompetisi penuh. Kompetisi Juvenile nasional sudah mirip dengan La Liga yang diisi oleh tim-tim elit seperti FC Barcelona dan Real Madrid.
Format ini menjadi pelajaran bagi kompetisi usia muda di Indonesia. Di kita, kompetisi kelompok umur Pengcab mati suri. Seluruh kompetisi yang ada berusaha mencari Juara Indonesia. Di kelompok usia 11-12 tahun, Piala Danone menghabiskan biaya besar dengan frekuensi pertandingan minim. Format yang sama untuk Piala Mennegpora, YAMAHA ataupun MEDCO yang boros biaya dengan jumlah pertandingan minim.
Saya teringat saat membawa tim MEDCO DKI menjalani satu putaran ke Kalimantan. Kesana, kami menghabiskan dana 100 juta. Sungguh mahal untuk harga 3 pertandingan. Alangkah indahnya bila kita bisa meniru Spanyol. Alihkan anggaran Danone, Mennegpora, YAMAHA ataupun MEDCO untuk kompetisi Pengcab. Supaya anak-anak Indonesia tidak sibuk mengejar Juara Indonesia, tetapi sibuk berkompetisi untuk mengejar Juara Asia dan Dunia di level senior nanti.
Attitude for Winning
Faktor terakhir merupakan faktor pamungkas yang menopang keberhasilan Spanyol menguasai sepakbola dunia. ”Kalau Anda ingin menjadi pemenang, terlebih dahulu Anda harus hidup dengan sikap seorang pemenang.” Kalimat yang terkesan hiperbola ini merupakan suatu realita di Spanyol. Sejak dini anak-anak Spanyol telah memiliki sikap seorang pemenang.