“Di ISL terdapat 471 pemain yang bermain. Uniknya, hanya 18 pemain yang masih berusia 21 tahun ke bawah. Dari 471 pemain, terdapat 102 debutan. Menariknya hanya 15 debutan yang usianya di bawah 21 tahun.”
Fakta di atas membawa pada kesimpulan bahwa sedikit pemain muda yang eksis di top level sepakbola Indonesia. Lalu umumnya pemain Indonesia debut di top level sepakbola pada usia yang tidak muda lagi. Inilah jawaban tentang betapa sulitnya regenerasi pemain tim nasional yang berujung pada anjloknya prestasi.
Fenomena ini tidak boleh dibiarkan begitu saja bila ingin timnas kita berprestasi di masa mendatang. Untuk memutusnya, tentu harus kembali ke akar permasalahannya. Yaitu buruknya pembinaan usia muda dan miskinnya ruang kesempatan yang diberikan klub sepakbola profesional. Mengisi jeda kompetisi, tulisan ini akan lebih fokus mengupas permasalahan pemain muda di tataran sepakbola profesional.
Sulitnya Pemain Muda
Ada empat faktor yang harus dibenahi agar klub sepakbola profesional memberi ruang lebih bagi pemain muda. Faktor pertama adalah kuota pemain asing. Kebijakan regulator ini merangsang klub profesional mengkontrak lima pemain asing. Kondisi ini secara tidak langsung menutup kesempatan pemain muda. Memang, kebijakan nol pemain asing sekalipun tak lantas membuat pemain muda dimainkan. Tetapi setidaknya terbuka kesempatan lebih bagi pemain muda untuk dimainkan dan berkembang.
Faktor kedua adalah perbaikan kualitas perwasitan. Buat pemain muda, buruknya perwasitan tidak mudah. Perjuangan pemain muda meyakinkan pelatih agar dimainkan sering terhenti akibat tidak dilindungi wasit. Kaget menerima perlakuan tidak adil, membuat emosi pemain tak terkontrol. Pemain muda bisa jadi penakut atau pemberang. Tentu keduanya akan menurunkan kualitas penampilannya.
Pemain penakut membuat pelatih takut untuk menurunkannya. “Selama wasit begini, saya kasihan menurunkan pemain muda,” seru banyak pelatih. Sebaliknya pemain pemberang sering membuat pengurus klub antipati. “Masih muda sudah suka protes wasit dan berkelahi” adalah pernyataan populer dari pengurus klub.
Faktor ketiga adalah pelatih dan metode kepelatihan. Tak banyak pelatih klub yang berani memberi kesempatan pemain muda. Tentu faktor pelatih tidaklah tunggal. Bukan rahasia di sepakbola Indonesia pelatih sering menjadi korban sistim dan organisasi. Terkadang ketidakberanian pelatih dipengaruhi tuntutan manajemen atau penonton untuk selalu menang dengan cara instant.
Hal lain yang sering diabaikan pelatih adalah periodisasi individu. Sepakbola adalah olahraga tim. Tetapi di dalamnya terdapat individu yang punya karakteristik khusus dan memerlukan periodisasi latihan khusus. Tentunya pemain muda debutan dengan pertimbangan usia dan riwayat latihan berbeda membutuhkan periodisasi latihan berbeda.
Metaforanya seperti ini, pemain berlari treadmill 10km/jam dan mampu bertahan 90 menit. Tiba-tiba, pemain A diminta berlari treadmill 20km/jam. Logikanya pemain A takkan bertahan 90 menit. Ilmu kepelatihan mengatakan semakin tinggi intensitas, semakin rendah volume. Kenyataan yang dialami pemain muda debutan bertolak belakang. Di musim sebelumnya, ia berlatih di tim U-21 (intensitas rendah) 4-6x per minggu. Tiba-tiba ia harus berlatih di senior (intensitas tinggi) 6-10x per minggu.
Pemain seperti berlari di treadmill 20km/jam dan harus bertahan 120 menit. Pada saat masih beradaptasi dengan intensitas latihan lebih tinggi, ia harus berlatih lebih sering. Akibatnya, pemain selalu latihan dalam kondisi tidak bugar. Tak heran banyak pemain muda hebat dan menjanjikan di awal musim, lalu mengalami cedera atau penurunan performa. Di saat itulah manajemen dan pelatih menghakimi pemain muda ini belum siap. Periodisasi Individu wajib hukumnya bagi pemain muda.
Reorientasi Klub
Faktor terakhir adalah orientasi jangka pendek klub. Lama dihidupi APBD, mayoritas klub hanya berpikir satu musim. Uang tahunan gampang membuat klub lebih suka prestasi instant mencari juara dengan pemain-pemain jadi. Singkatnya manajemen hanya membangun tim, bukan klub.
Klub tak pernah berpikir investasi di pemain muda, karena basis kontrak pemain kebanyakan tahunan. Usaha regulator menyadarkan klub tentang pentingnya pembinaan internal dengan kompetisi U-21 juga masih sia-sia. Data menunjukkan dari 102 pemain debutan, hanya 13 pemain (12,72%) yang berasal dari kompetisi U-21. Berbanding dengan 67 pemain dari Divisi Utama dan ironisnya 22 pemain dari kompetisi amatir.
Kondisi ini memprihatinkan. Di satu sisi klub tak cukup serius menggarap pembinaan internal melalui tim U-21. Di sisi lain klub lebih mempercayakan pemain debutan dari divisi utama dan liga amatir. Artinya, proses talent scouting, manajerial dan fasilitas digarap sekedar untuk memenuhi syarat regulator. Terbukti klub tidak berharap banyak akan output dari tim U-21 sendiri.
Orientasi klub profesional dalam konteks sepakbola industri adalah meraih prestasi setinggi-tingginya dengan keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Salah satu pilar klub profesional adalah basis pembinaan usia muda yang kuat. Di masa mendatang klub tak perlu kepusingan membayar kontrak dan gaji mahal, karena setiap musim selalu ada pemain muda berbakat dengan harga murah yang siap meroket.
Mari mencontoh Ajax Amsterdam dengan pembinaan usia muda terbaik di dunia. Setiap musim Ajax menelurkan 3-5 debutan dari akademinya. Ajax juga menjual bintang seperti Seedorf, Sneijder, Huntelaar, dst dengan harga mahal. Kebiasaan Ajax berdampak pada keuangan. Di sektor pengeluaran, bila klub lain menempatkan pembelian dan gaji pemain di urutan atas, maka belanja dan gaji pemain pemain Ajax ada di urutan bawah.
Fondasi pembinaan telah menjadikan Ajax sebagai klub top dengan keuangan sehat. Teladan Ajax inilah yang harus menjadi referensi bagi para pegiat sepakbola profesional untuk membangun klubnya. Bukan hanya sekedar juara, tetapi juara dengan keuangan yang sehat, serta kontribusi tinggi pada tim nasional. Masa depan sepakbola profesional Indonesia ada di pemain muda. Save Our Youth Talent!
GP