Afrika Selatan adalah negeri dengan hampir 60 juta orang. Sepakbola merupakan olahraga favorit yang digandrungi banyak orang. PSL (Liga Pro Afsel) merupakan Liga terbesar di Afrika dengan fasilitas kelas satu dan perputaran uang besar. PSL menjadi komoditi andalan SAFA (PSSI Afsel) untuk mengeruk keuntungan dan jadi simbol kemajuan sepakbola Afsel.
Mirip seperti ISL yang hanya jadi simbol kemewahan, PSL tidak memiliki kontribusi positif pada football development Afsel. Klub-klub kaya raya enggan berinvestasi di pembinaan usia muda. Mereka justru gemar beli pemain bergaji besar. Tingginya gaji di liga lokal membuat anak muda Afsel tak berminat berkarir di Eropa. “PSL menjadi zona nyaman yang malah menghambat perkembangan pemain muda,” tutur Kabelo, kolega saya pelatih fisik Bafana-Bafana.
Talenta Afsel layaknya emas yang tidak disepuh dengan sistem pembinaan usia muda dan kepelatihan berkualitas. Pemain muda Afsel tetap dengan cirinya yang cepat dan lincah dalam menggiring bola. Hanya saja mereka tertinggal dalam wawasan taktikal sepakbola. “Perkembangan alami tidak cukup membuat mereka matang secara taktik,” tambah Kabelo.
Status sepakbola Afrika Selatan menjadi salah satu topik hangat WFA EM 2014. Dimana prestasi Bafana-Bafana sedang memasuki periode kelam dalam satu dekade terakhir. Momentum Piala Dunia Afsel 2010 pun tak mampu angkat prestasi sepakbolanya. Tiga pakar yakni Corne Groenedijk (Belanda – Ajax Cape Town), Ernest Middendorp (Jerman – Bloemfontein Celtic), dan Stuart Baxter (Inggris – Kaizer Chiefs) berbagi pengalamannya menerapkan kerja standar tinggi di sepakbola level rendah.
Sistem Ajax
Cap Afsel sebagai gudang bakat membuat Ajax Amsterdam membuka klub saudara bernama Ajax Cape Town (Ajax CT) pada 1999. Upaya Ajax masuk ke negara yang level sepakbolanya lebih rendah dan terjun langsung melakukan pembinaan patut diacungi jempol. Sama seperti klub saudara tuanya di Amsterdam, Ajax CT juga berkonsentrasi membina talenta muda Afsel lewat Ajax CT Academy.
Corne Groenedijk selaku direktur Ajax CT Academy percaya bahwa bakat bisa lahir dimana saja, termasuk di Afsel. Ia juga mengedepankan pengelolaan bakat secara jangka panjang. Akademi tidak boleh menghakimi kualitas bakat terlalu dini. Beberapa pemain mengalami perkembangan bakat pesat, tetapi pemain lain perkembangan bakatnya bisa lambat. Aspek terpenting adalah tiap pemain harus memiliki ambisi sepakbola yang berkembang setiap hari.
Ajax CT memiliki filosofi sepakbola yang sama dengan Ajax Amsterdam, dengan berbagai penyesuaian. Dalam hal playing style misalnya, Ajax CT memainkan style Ajax Amsterdam yang ingin mendominasi penguasan bola dengan permainan posisional. Style ini dibumbui dengan sedikit permainan solo dan direct. Corne menjelaskan ada faktor plus dari pemain Afsel yang lincah dengan bola dan kuat dalam duel. Sehingga faktor plus ini bisa menambah warna dari style Ajax Amsterdam.
Konsep Ajax CT adalah membangun pemain via Akademi, Jong Ajax CT, dan tim utama Ajax CT. Dimana tim utama Ajax CT yang berkompetisi di PSL diibaratkan sebagai Tim “B” dari Ajax Amsterdam. Pembinaan dimulai dari 12, 13, 14, 15, dan 17 tahun. Langkah pembinaan selanjutnya adalah melalui Jong Ajax CT yang bermain di Kompetisi Divisi Satu Liga Amatir. Sepanjang kiprah pembinaannya, beberapa pemain telah berhasil masuk ke Ajax Amsterdam, di antaranya adalah Steven Pienaar dan Thulani Serero.
Melatih Pemain Tak Terpelajar
Pengalaman unik lain dibagikan Ernst Middendorp. Pelatih Jerman kaya pengalaman di klub Bundesliga macam Arminia Bielefield dan FC Ausburg ini melatih klub PSL Bloemfontein Celtics. Ia juga telah lama habiskan karirnya di Afsel dengan Kaizer Chiefs, Golden Arrows, dan Maritzburg United. Ernest berkesimpulan tantangan terbesar saat melatih di Afsel adalah saat harus memberikan porsi latihan taktik.
Pembinaan usia muda di Afsel yang tak berstruktur, serta rendahnya kualitas kepelatihan membuat pemain muda Afsel berkembang secara alami. Tidak ada pendidikan sepakbola yang komplet. Ernst menilai pemain Afsel sangat intuitif dan sulit mencerna rencana taktik tim yang disiapkan oleh pelatih. Dalam kondisi ini, Ernst harus mencari format pengajaran yang pas untuk level pemain. Tanpa sedikitpun menurunkan standar tinggi dalam filosofi sepakbolanya.
Ernst menjabarkan 4 hal yang dilakukannya untuk mengajarkan taktik sepakbola standar tinggi pada pemain tak terpelajar, yaitu:
Sedikit tapi berkualitas. Ernst kedepankan efektifnya latihan berdurasi singkat, dengan materi taktikal padat pada pemain Afsel. Latihan yang panjang dan terlalu sering justru membuat pemain Afsel melemah ingatan taktikalnya.
Latihan Sederhana. Pastikan pemain Afsel berlatih porsi taktik dengan bentuk latihan sederhana yang senantiasa berhubungan dengan 11 v 11.
Jelaskan mendetail. Pemain Afsel tidak mengalami pendidikan sepakbola yang komplet. Untuk itu setiap pelaksanaan dan koreksi latihan, infomasi yang diberikan harus mendetail. Bukan hanya pada aspek “apa”, tapi juga “mengapa”.
Pengulangan. Miskinnya pengetahuan taktikal pemain Afsel membuat suatu latihan taktik tertentu harus dilakukan berulang-ulang.
Wujud modifikasi model pengajaran Ernst dijelaskannya saat mengaplikasi taktik penyerangan. Dalam pembelajaran tahap awal, pemain diminta cukup ikuti posisi bola. “Bila bola di kanan, semua tim bergerak ke kanan,” terangnya. Setelah mahir, baru tahap selanjutnya adalah menjelaskan ada pemain yang harus pergi ke kiri. Tahap akhir adalah sirkulasi bola untuk mencetak gol. Di sini sekali lagi tampak Ernst fasih memodifikasi pengajaran taktik pada pemain tak terpelajar, tanpa menurunkan standar sepakbolanya.
Lengkapi Kurangnya
Lain Ernest, lain pula Stuart Baxter. Pria Skotlandia ini telah malang melintang di sepakbola top level. Dengan pengalaman melatih di berbagai kultur, seperti di timnas Finlandia, Helsingborg (Swedia), Vissel Kobe (Jepang), dan sekarang di Afsel. Ia berpengalaman di negeri Nelson Mandela ini dengan melatih timnas Afsel dan sekarang di Kaizer Chiefs.
Baxter menyukai pendekatan kultural. Hal pertama yang dia lakukan saat melatih di suatu negara adalah mengenali budayanya. Ia berpendapat pemain harus selalu dijadikan titik awal, lalu metode latihan merupakan alat untuk mengembangkan pemain. Analisa Baxter terhadap profil pemain itulah yang kemudian menjadi dasar program latihannya.
Baxter menilai pemain Afsel memiliki profil yang berpostur tinggi besar, kuat dalam duel, dan sangat mobil. Jika Ernst mendefinisikan pemain Afsel sebagai “tak terpelajar”, Baxter mendefinisikannya dengan “tak punya dasar dalam ambil keputusan”. Kondisi ini yang menyulitkan pemain Afsel untuk bermain dalam organisasi tim yang rigid atau kaku.
Meski demikian, Baxter meyakini pemain Afsel memiliki intuisi yang brilian, sehingga mampu memberikan warna kreatifitas dalam tim. Fakta ini berlawanan dengan pengalaman Baxter saat melatih di Swedia. Pemain Swedia adalah pemain miskin kreativitas tetapi sangat rasional serta mengedepankan struktur dan organisasi tim. Untuk kasus di Swedia, Baxter banyak membentuk latihan yang tidak terprediksi untuk merangsang kreativitas pemain dalam berbagai situasi tak terduga.
Sebaliknya di Afsel, Baxter ingin melengkapi pemain dengan kemampuan bermain dalam struktur dan organisasi tim yang rigid. “Pemain Afsel cepat dalam bergerak, tapi lambat dalam berpikir,” seru Baxter. Untuk itu Baxter banyak gunakan latihan fungsional. Misal pass, sprint, dan shooting dalam situasi permainan. Model latihan seperti ini senantiasa merangsang pemain untuk mengambil keputusan saat bergerak.
Dari paparan 3 praktisi di atas, penulis mengambil beberapa kesimpulan penting, yaitu:
1) Masalah sepakbola ada dimana-mana. Masalah adalah tantangan, bukan alasan untuk tidak bekerja keras membangun sepakbola.
2) Kenali profil pemain setempat (konteks lokal) sebagai titik awal. Lalu gunakan metode latihan yang tepat untuk mengembangkannya,
3) Adaptasi tanpa harus menurunkan standar tinggi sepakbola. Baxter dan Ernst tunjukkan berbagai inovasi agar pemain dengan wawasan sepakbola minim bisa tetap mainkan sepakbola standar tinggi. <>
@ganeshaputera
Tulisan asli dimuat di www.goal.com