top of page
K! EVENT
Recent Posts

Thomas Muller: Menjadi Biasa Saja adalah Luar Biasa


Kemenangan di sepakbola selalu ditentukan oleh gol penting. Gol menjadi penting ketika terjadi begitu spektakuler atau pada waktu yang tepat dan menentukan. Salah satu gol spektakuler yang menjadi buah bibir fans dan para pandit adalah gol ke-3 FC Bayern ke gawang FC Porto yang dicetak oleh Robert Lewandowski dalam partai fenomenal yang berakhir 6-1 untuk The Bavarians. Gol ini menjadi spektakuler mengingat The Bavarians melakukan interpassing sebanyak 26 kali tanpa terebut lawan. Sungguh cantik!

Gol penting lain adalah gol semata wayang Mario Gotze ke gawang Argentina pada final Piala Dunia Brasil 2014. Menit 113 di Estadio de Maracana, Rio De Jeneiro menjadi petaka bagi Lionel Messi dkk saat Schurlle mengirimkan umpan silang lob brilian ke Gotze. Tanpa ampun Gotze mengontrol dengan dada dan menghunjamkan gol terpenting sepanjang 2014. Gol ini menjadi buah bibir karena keindahannya, plus tentu saja datang di waktu yang tepat. Menentukan!

Pemain Penentu

Fans akan selalu mengingat Lewandowski dan Gotze sebagai pencetak dua gol istimewa ini. Cantik, brilian dan menentukan! Meski demikian, kita tak boleh lupa bahwa gol dalam sepakbola adalah sebuah proses. Terjadinya sebuah gol melalui proses taktikal yang rumit, dimana semua pemain memainkan fungsi masing-masing sesuai taktik tim. Juga menyesuaikan dengan situasi yang terjadi akibat head to head dengan taktik lawan.

Dalam proses taktikal tersebut, selalu ada pemain penentu. Menariknya dua gol istimewa di atas terjadi akibat peran penting satu orang yang sama. Ya, dialah Thomas Muller. Pada gol Lewandowski ke gawang Fabiano pekan lalu, FC Bayern melakukan banyak inter passing untuk membangun serangan. Fase terpenting adalah saat Rafinha menginisiasi serangan di kanan, mengirim umpan ke Lahm yang dilanjutkan lewat kombinasi dengan Alonso dan Thiago. Lalu diteruskan dengan dua umpan silang Lahm dan Muller.

Hebatnya sebelum Muller mengumpan Lewandowski, ia mengambil peran penting pada proses gol tersebut tanpa sekalipun menyentuh bola. Ia hanya bergerak melebar dan turun ke bawah untuk ciptakan menang jumlah orang di pinggir dengan berdiri di antara Martin Indi (LB) dan Marcano (CB). Posisi berdiri brilian yang men-stretch Marcano keluar dari zona tengah dan memaksa dua gelandang Porto Casamiro dan Herrera mengambil kedalaman.

Situasi ini membuat Thiago bebas. Petaka kembali terjadi karena posisi berdiri Muller membuat Indi pada situasi 1v2 harus menjaga antara Muller dan Lahm. Dalam rekaman terlihat, 1 step Indi sempat ingin press Muller. Akibatnya Thiago yang bebas juga dapat kirim chip pada Lahm yang bebas. Masih di posisi berdiri yang sama, Muller mendapat keuntungan di halfspace akibat renggangnya Indi dan Marcano. Lobang ini dilihat oleh Lahm yang sekali sentuh kirim ke Muller dan dilanjutkan oleh assist ke Lewandowski. Boom!

Proses mirip terjadi pada gol Gotze di final Brasil 2014. Pada akhir pertandingan, Loew yang pada awalnya tempatkan Muller di sayap kanan, memasukkan Gotze untuk gantikan Klose. Ini ialah signal Loew ingin Muller bermain sebagai false nine di depan. Taktik ini moncer. Dalam satu kesempatan Schurlle penetrasi dribbling di sisi kiri, Muller turun menjadi gelandang diantara lini bek dan gelandang Tim Tango.

Demichelis pun dilematis. Jika ia press Muller, ada lobang di belakangnya. Sebaliknya, jika ia stay Muller punya space untuk dipassing, berbalik dan bahayakan gawang Romero. Demichelis pun memilih untuk press Muller dan akibatnya kita semua tahu. Gotze merengsek ke lobang yang ditinggalkan Demichelis dan Adios Argentina! Hebatnya, Muller menjadi penentu penting dalam proses gol tanpa sedikitpun ia harus menyentuh bola.

Pemain Biasa Saja

Kegilaan cara bermain Thomas Muller menjadi fenomena baru di sepakbola modern. Kehadirannya di posisi yang tepat pada waktu yang tepat saat berlaga di lapangan juga terjadi pada perjalanan karirnya. Setelah musim impresif dengan FC Bayern II di Bundesliga Divisi 3, Muller berhasil meraih kontrak fulltime di tim utama pada musim 2009/2010. Direktur FC Bayern ketika itu berencana meminjamkannya ke klub kecil agar ia makin matang.

Rencana tersebut gagal. Kehadirannya di tim utama bersamaan dengan hadirnya Louis Van Gaal. Sebagai guru taktik yang baik, Meneer Van Gaal suka dengan pemain muda potensial seperti Muller. LVG kemudian bukan saja memberi kesempatan bermain, tetapi juga peran penting sebagai pemain No. 10 pada formasi 1-4-2-3-1 nya. Ini membuatnya juga terpanggil ke National Maanschaft.

Sebagai pemain top level, ia tidak punya keistimewaan. Ia punya atribut lengkap kaki kiri, kanan dan kepala yang dikategorikan lumayan. Tetapi tidak ada satupun atribut teknisnya yang bisa dibilang super. Muller tidak terlalu cepat dan kuat secara fisik. Ia malah sering dibilang “tukang diving” karena sering jatuh. Ini dibantahnya dengan katakan ia memang lemah dalam duel jarak dekat. Soal olah bola, kelasnya medioker. Ia tidak hebat dalam dribble, apalagi situasi 1v1.

Berbeda seperti Messi dan Ronaldo yang sangat proaktif, Muller adalah pemain reaktif adaptif. Messi adalah False 9 tulen yang secara aktif dengan skill individunya berusaha menyobek pertahanan lawan. Sedangkan Ronaldo adalah tipe striker melebar yang cepat dalam penetrasi dan counter attack. Lawan selalu dituntut untuk menyesuaikan keduanya. Nah, Muller sebaliknya. Ia justru melihat dulu defending tactic lawan, baru kemudian beradaptasi dengan eksplorasi lobang-lobang yang tersedia.

Kemampuannya yang biasa saja membuatnya memiliki kemampuan “read the game” ulung. Muller selalu bisa melihat situasi permainan, melihat dimana adanya ruang dan mengambil posisi tepat di ruang tersebut. Kecerdikan dalam posisi berdirinya membuat ia memiliki lebih banyak ruang dan pastinya ia lebih punya banyak waktu untuk mengambil keputusan. Tentu saja keputusan dan eksekusi sepakbolanya jadi begitu prima.

Selain kelihaian pergi ke ruang kosong diantara lawan. Ia juga sangat pandai melihat posisi kawan yang berada pada arah serang tim. Ia tidak sekedar pergi mencari ruang kosong, tetapi mencari ruang kosong yang dekat dengan pemain lain. Sehingga kehadirannya di ruang tersebut mampu menciptakan jumlah lebih 2v1 atau 3v2. Di FC Bayern, ia sering berpartner dengan Lahm atau Robben di pinggir. Atau dengan Alonso atau Thiago di tengah.

Itulah bagi pemirsa awam, Muller seperti pemain “ngacak” yang pergi kesana kemari. Saat bermain No.10 atau No.9, ia sering melebar dan turun ke gelandang. Saat main No.7, ia justru ke dalam dan ke depan. Semuanya ia lakukan tidak secara instingtif, tetapi hasil observasi kemana ia harus berlari untuk selalu ciptakan overload di suatu sektor tertentu.

Pengambilan posisinya sering pengaruhi lawan dan buka ruang baru untuk kawan. Ingat dua gol yang jadi pembuka tulisan ini. Keduanya, Muller ciptakan ruang untuk Lahm dan Gotze. Hal sebaliknya terjadi bila lawan tidak terpengaruh untuk mem-pressnya. Muller dengan senang hati menerima bola di ruang lebar tanpa terjaga. Tak heran, Muller termasuk pemain yang secara statistik jarang menyentuh bola. Bahkan, jumlah sentuhannya sering lebih sedikit dari kiper Manuel Neuer sekalipun (lihat boks).

Produk Sistem

Gaya bermain Thomas Muller sungguh fenomenal. Ia menjuluki dirinya sebagai Raumdeuter. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Space Investigator” atau “Penyelidik Ruang” dalam bahasa kita. Rob Brown, seorang pandit papan atas menulis sebuah analogi cerdas. Thomas Muller adalah Clark Kent saat ia menguasai bola. Sederhana dan begitu rendah hati dengan bola. Seketika saat temannya menguasai bola, Muller menjelma menjadi Superman.

Kemunculan Thomas Muller diyakini bukanlah suatu kebetulan. Ia merupakan representasi produk sebuah sistim canggih yang telah direncanakan sebelumnya. Pasca Euro 2000, dimana Panser gagal total terjerembab di penyisihan, DFB melakukan revolusi pada sistim pembinaannya. Salah satu poin penting adalah pembinaan sepakbola Jerman harus mencetak pemain yang lebih memiliki teknik mumpuni dan kreativitas taktik.

Revolusi filosofi ini terkait pada proses talent scouting. Dimana Jerman harus lebih memilih pemain berteknik, ketimbang pemain yang besar, kuat dan cepat. Di samping talent scouting, akademi-akademi juga diminta terus kedepankan latihan yang berbasis pada pengembangan teknik-taktik sepakbola.

Langkah lain yang dilakukan DFB adalah menyewa jasa Marcel Lucassen, pelatih spesialis teknik sepakbola yang bekerja untuk Timnas Junior seluruh kelompok usia. Penulis yang kebetulan pernah berkesempatan mengikuti Kursus Football Technique dengannya menjadi tidak heran muncul pemain cerdas seperti Thomas Muller.

Penyebabnya tak lain adalah filosofi latihan yang ditawarkan Lucassen adalah latihan teknik sepakbola berbasis 11vs11. Secara ekstrim, Lucassen bahkan mengatakan latihan teknik sepakbola terbaik adalah Game 11vs11. Tentu saja pada level tertentu, Game 11vs11 harus disederhanakan menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti 4v4, 4v2, 4v1,4v0, hingga 1. Hanya saja apapun bentuk latihan teknik tidak boleh keluar dari konteks Game 11vs11.

Konteks Game 11vs11 ini terkait dengan Posisi, Momen, Arah dan Kecepatan. Semua latihan teknik yang dibuat harus mencakup keputusan dan eksekusi empat aspek tadi dalam Game 11vs11. Jika tidak ada dalam Game 11vs11, maka itu bukan latihan teknik sepakbola yang tepat. Filosofi di balik ini semua adalah karakteristik sepakbola. Dimana sepakbola tak seperti senam yang teknik merupakan eksekusi teknik itu sendiri. Di sepakbola, teknik adalah eksekusi dari keputusan. Tak heran semua latihan teknik pun harus berbalut dengan keputusan jika pembinaan sepakbola ingin mencetak pemain masa depan seperti Muller.

Pemain Masa Depan

Berbagai deskripsi di atas membawa pada suatu kesimpulan bahwa Thomas Muller adalah prototipe pemain masa depan yang ideal. Sepakbola modern makin hari makin compact dalam hal defending. Kondisi ini membutuhkan pemain yang bisa senantiasa mencari dan menciptakan ruang yang dapat dieksploitasi oleh dirinya, maupun temannya seperti Muller.

Kriteria ideal lainnya adalah kemampuan Muller bermain pada berbagai posisi. Kemampuan mencari ruangnya membuat posisi bermain menjadi tak relevan. Ini jelas sesuai dengan tren sepakbola modern yang tidak lagi zone dependant terkait posisi, tetapi space dependant terkait pada ruang. Muller dapat bermain di No.7, 11, 10 ataupun 9. Sekedar meramal, tak menutup kemungkinan di masa tuanya, Muller akan mengisi No.6.

Dua kemampuan di atas membawa pada pertimbangan teknis yang ekonomis. Yakni, Muller bisa menghemat penggantian pemain. Utilitasnya membuat pelatih dapat melakukan perubahan taktik tanpa harus mengganti pemain. Ia dapat berganti posisi sesuai kebutuhan. Bahkan, tanpa harus mengubah posisi, ia dapat mengubah fungsi dan cara bermainnya. Penulis kini menunggu para pembina usia muda Indonesia mampu “mencari ruang” untuk dapat cetak pemain luar biasa karena biasa saja. Ditunggu Thomas Muller Indonesia! <>

@ganeshaputera

Tulisan asli dimuat di www.fandom.id

bottom of page