Salah satu tren baru di dunia kepelatihan Indonesia adalah makin banyaknya pelatih melibatkan bola dalam setiap sesi latihan. Lari keliling lapangan dan senam-senam kini mulai berganti ke pemanasan dengan bola. Bahkan tren ini juga mulai berlaku pada latihan fisik pada masa pra musim sekalipun. Dasar pertimbangan logis bahwa pencapaian indikator fisik seperti denyut nadi atau VO2Max sama saja dengan atau tanpa bola, maka tentu latihan fisik dengan bola merupakan metode plus. Fisiknya dapat, tekniknya juga dapat!
Kita sepakat bahwa metode latihan dengan bola ini tentu amat bermanfaat. Sambil meningkatkan fisiknya, pemain meningkatkan tekniknya. Sebaliknya, sambil meningkatkan tekniknya, pemain meningkatkan fisiknya. Hanya saja metode ini tentu perlu dikaji lebih dalam lagi. Pertanyaan terbesar yang harus dijawab adalah sejauh mana metode latihan dengan bola ini punya signifikansi pada peningkatan level permainan di pertandingan?
Fakta mengatakan tidak selalu demikian. Tim yang berlatih dengan bola, tetap saja salah passing dan salah kontrol di pertandingan. Kualitas passing dan kontrolnya tak kalah buruknya dengan tim yang berlatih tanpa bola. Logika bisa karena biasa ternyata tak terjadi dalam pertandingan. Pemain telah lakukan ratusan bahkan ribuan kali passing di latihan, tetap saja banyak salah di pertandingan.
Karakteristik Sepakbola
Untuk bisa mengurai masalah tersebut, maka kita perlu menganalisa karakteristik permainan sepakbola itu sendiri. Dalam suatu risetnya di Portugal, Julio Gargana menyampaikan bahwa sepakbola adalah permainan kompleks yang dinamis. Pemain haruslah menganalisa situasi (persepsi), mengambil keputusan (decision) dan mengeksekusi keputusan (execution). Untuk itu situasi latihan haruslah mereplikasi pertandingan 11v11. Dimana latihan menyajikan situasi yang menuntut multi solusi dari pemain.
Aspek inilah yang mungkin menjadi “missing link” umum pada model latihan dengan bola yang terjadi di Indonesia. Ya, latihan dengan bola bukanlah latihan sepakbola! Perbedaan mendasar pada latihan dengan bola dan latihan sepakbola adalah aspek komunikasi dan keputusan. Latihan dengan bola tidaklah merangsang pemain untuk mengambil keputusan terkait posisi, arah, timing dan kecepatan.
Analisa perbandingan latihan dengan bola dan latihan sepakbola bisa dilihat pada dua jenis latihan passing pada gambar di atas. Di gambar kiri, pemain tidak mengambil keputusan apapun terkait posisi, arah, timing dan kecepatan. Bila pemain A lakukan passing ke arah kaki kiri atau kaki kanan pemain B, maka hal tersebut tidaklah menjadi penting. Bila pemain A melakukan passing 1 detik lebih cepat atau lambat, hal itu juga tidak berarti apapun. Dalam hal kecepatan, passing pelan juga tak berarti apapun.
Sedang di latihan passing pada gambar kanan, pemain mulai sedikit harus ambil keputusan. Dalam hal posisi, pemain A, B dan C akan kesulitan lakukan passing dan kontrol bila posisi berdirinya salah. Bila cone dijadikan bayangan lawan, maka pemain harus memposisikan diri yang bisa di-passing, bisa mengkontrol, tanpa terlihat lawan. Arah juga jadi isu penting, karena misal A passing ke arah kaki kiri B, tentu B akan kesulitan mengarahkan kontrolnya ke pemain C. Kontrol kaki kiri oleh B juga berarti memposisikan bola terbuka untuk lawan. Soal kecepatan, passing terlalu pelan membuat B harus menjemput bola, yang berarti B akan masuk pada jangkau pandang lawan.
Kesimpulannya latihan pada diagram kiri adalah latihan dengan bola. Sedangkan latihan pada diagram kanan adalah latihan sepakbola. Secara gamblang, latihan pada diagram kiri adalah latihan “menendang”, sedang diagram kanan adalah latihan “passing”. Lalu seperti kata Alf Galustian, “perbedaan antara menendang dan passing adalah berpikir!”
Possession?
Perbandingan lain bisa kita urai dari perbedaan latihan possession pada gambar di bawah. Pada diagram kiri, tim lakukan latihan 5v5 di suatu area dengan target menguasai bola selama mungkin. Latihan yang bagus dan menantang. Persoalannya, apakah latihan possession tersebut telah mereplikasi sepenuhnya kondisi permainan 11v11?
Dalam latihan 5v5 tersebut, permainan possession dilakukan tanpa formasi dan tanpa posisi spesifik. Alasan pelatih seringkali adalah permainan sengaja dibuat cair tanpa formasi dan posisi agar pemain terbiasa melakukan rotasi posisi. Alasan logis! Hanya saja, menjadi tanda tanya apakah model posisional dan rotasi cair menjadi platform tim pada saat main 11v11? Bila hal tersebut bukan sesuatu yang diinginkan dalam 11v11, mengapa latihan semacam ini dibuat?
Hal lain yang mengganggu adalah tidak adanya arah permainan dan target. Padahal pada permainan 11v11, penguasaan bola adalah cara bukanlah tujuan. Penguasaan bola ialah cara untuk terus mencari peluang progresi bola ke depan. Dalam permainan 5v5 tanpa target dan arah, orientasi penguasaan bola menjadi tidak jelas.
Pada latihan 5v5 diagram kanan, situasi berubah total. Formasi 11v11 haruslah menjadi referensi dasar. Dalam hal ini, formasi yang digunakan dalam 11v11 adalah 1-4-3-3. Berdasarkan referensi tersebut, pelatih kemudian membuat latihan 5v5 dengan basis Attack vs Defend. Tim merah merepresantasikan barisan attack dengan 2 gelandang serang, 2 sayap dan target ke striker. Sedang tim biru merepresentasikan barisan defend dengan 2 centerback, 2 fullback dan target ke gelandang bertahan.
Seketika sekarang permainan 5v5 yang dibuat menjadi memiliki formasi dan posisi yang tidak keluar dari 11v11. Penempatan target players di latihan ini membuat orientasi permainan menjadi lebih jelas. Tim tidak bertujuan untuk menguasai bola, tetapi menggunakan penguasaan bola sebagai cara untuk progresi ke depan. Kesimpulannya, latihan gunakan lawan jauh lebih baik ketimbang tanpa lawan. Tetapi, tanpa struktur taktikal dan konteks 11v11, latihan dengan lawanpun bisa jadi hanya jadi latihan dengan bola! Bukan latihan sepakbola!
Sistematika Melatih
Model yang ditawarkan silabus kepelatihan AFC ialah struktur dari fundamental, game related hingga game situations. Fundamental adalah elemen eksekusi teknik tanpa lawan dan tanpa konteks. Lalu berlanjut ke situasi game related dimana pemain melakukan eksekusi teknik dalam tekanan lawan. Puncaknya adalah game situations yang menghadirkan situasi permainan 11v11 atau format jumlah lain yang disederhanakan.
Model AFC ini layak diperdebatkan pada tataran filosofis dan praktis. Pertama, model AFC gunakan konsep part-part-whole. Dimana sepakbola dimulai dari 1v0, 2v0 terus hingga 11v11. Artinya jika pemain menguasai teknik dalam 1v0 atau 2v0 maka ia akan lebih mudah belajar tahap selanjutnya ke 1v1, 2v2, 4v4 hingga 11v11. Persoalan dari model latihan fundamental 1v0 atau 2v0 adalah pemain tidak mengambil keputusan. Padahal teknik di sepakbola adalah eksekusi keputusan, bukanlah eksekusi gerakan seperti di lompat indah atau renang indah. Model ini mencetak pemain “sirkus” yang jago dalam latihan 1v0 dan 2v0, tapi melempem di game 11v11.
Model alternatif lain adalah konsep whole-part-whole. Dimana pemain mulai belajar dengan 11v11 atau format yang disederhanakan. Di permainan 11v11 diyakini akan muncul banyak masalah yang harus diselesaikan melalui format latihan lain yang disederhanakan. Mungkin dengan potongan permainan 4v4, 4v3, 4v2, 4v1, bahkan hingga 2v0 dan 1v0. Baru kembali lagi ke format game besar hingga 11v11.
Jelas, latihan fundamental ala AFC ini tetap bermanfaat pada kasus tertentu. Selama dilakukan setelah pemain mengerti struktur dan fungsinya pada game besar. Latihan teknik tersebut juga harus dilakukan di posisi dan lokasi pemain beroperasi pada game besar. Misal latihan 2v0 dilakukan oleh bek kanan dan sayap kanan di area pinggir lapangan. Sehingga latihan passing lebih memiliki “arti” dari sekedar menendang. Pemain telah mengalaminya dalam konteks game besar.
Konsep whole-part-whole diperkuat dalam buku kurikulum sepakbola FFA Australia. Di buku tersebut disajikan riset tentang kemampuan dua kelompok anak dalam menyusun puzzle. Kelompok pertama ditunjukkan keping per keping, kemudian kepingan tersebut disatukan dalam kotak. Kelompok tersebut harus menyusun puzzle berdasarkan ingatan kepingan tadi.
Kelompok kedua, diberikan gambar puzzle yang telah tersusun rapi seluruhnya. Kemudian baru ditunjukkan keping per keping. Ternyata semua anak pada kelompok kedua berhasil menyusun puzzle lebih cepat ketimbang anak-anak kelompok pertama. Riset menunjukkan bahwa otak manusia akan lebih cepat belajar apabila telah mendapat pra-informasi berupa gambar besar. Whole-part-whole!
Berangkat dari pemikiran di atas, sistematika latihan harus berangkat dari 11v11. Pelatih perlu mendeskripsikan fungsi tim dalam bertahan, menyerang dan transisi. Selanjutnya pelatih harus membeberkan tugas setiap pemain dalam jalankan fungsi tim tersebut. Proses berikutnya adalah memoles potongan hingga situasi terkecil secara detail, tetap dalam konteks 11v11. Jangan sekedar berlatih dengan bola, tetapi berlatihlah sepakbola! <>
@kickoffid