Taktik sepakbola terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan perkembangan taktik ini terasa lebih cepat dibanding pada masa sebelumnya. Sesuatu yang menjadi tren taktik setahun silam bisa jadi berkembang lebih dahsyat. Bisa juga tren taktik tersebut malah langsung memudar, karena lawan telah menemukan kontra taktik penangkalnya. Ya, taktik sepakbola di era modern ini makin hari makin menguras otak!
Kisah bermula saat suatu hari penulis memasuki ruang audio visual di tempat kerja. Di sana terpampang sebuah papan taktik besar dengan biji-bijinya. Kebetulan, paginya baru saja berlangsung partai sengit FC Bayern vs Arsenal di penyisihan grup Liga Champions 2015/2016. Di papan taktik telah tersusun rapi head to head formasi kedua tim. Itu pasti hasil diskusi pelatih klub saat menonton laga seru tersebut.
Sekilas sebaran biji di papan taktik tak tampak aneh. Arsenal memainkan 1-4-2-3-1, sedang FC Bayern memainkan 1-4-2-3-1. Di situ, saya yakin sekali biji merah pastilah FC Holywood. Bukan apa-apa, posisi biji di papan taktik menyebarkan semua pemain merah di area pertahanan lawan. Hanya saja, saya menemukan kejanggalan. Mengapa ada biji merah bernomor 5* yang ditempatkan sebagai gelandang serang? “Ah, pasti salah susun biji papan taktik!” gumam saya.
Alaba Tak Teraba
Saat menonton rekaman pertandingan, tuduhan saya mulai tak berdasar. Peluit baru berbunyi, saya mulai tertegun perhatikan David Alaba (Bek Kiri). Belum apa-apa, Alaba telah merengsek jauh ke depan. Makin lama, makin jelas tampak Alaba terus bergerak ke depan, bermain di depan boks penalti Arsenal. Puncaknya, Alaba pun menyumbang satu gol dan satu assist yang spektakuler. Ternyata benar, biji merah bernomor 5 itu adalah Alaba yang berposisi bek kiri saat bertahan dan menjadi gelandang serang saat tim kuasai bola.
FC Bayern memainkan formasi dasar 1-4-2-3-1. Neuer menjadi palang pintu terakhir di belakang kuartet Alaba, Martinez, Boateng dan Lahm. Xabi Alonso memainkan posisi gelandang bertahan. Di depannya, Coman dan Muller mengisi sayap kiri dan kanan. Sedangkan area serang di tengah depan diisi oleh Thiago dan Costa yang malam itu bermain mulai dari dalam.
Majunya Alaba ke depan juga tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada fase menyerang awal yang dimulai dari umpan pendek Neuer ke salah satu stoper, Alaba masih mengambil kelebaran maksimal hingga ke garis pinggir. Saat Bayern secara perlahan mampu membawa bola naik ke area 1/3 tengah, rotasi pun mulai terjadi. Alaba yang tadinya mengisi halfspace kiri di kedalaman mulai naik ke half space kiri di depan. Ruang yang ditinggalkan Alaba diisi dengan manis oleh Thiago. (Lihat video di bawah dari FastFootyComps)
Saya tak terlalu mengerti apa motif Pep merancang taktik ini. Akan tetapi, kolega saya @ryantank100 menjelaskannya dengan begitu logis pada tulisan review taktiknya. Ia paparkan bahwa Pep jelas sudah memprediksi bahwa Arsenal akan kembali menggalang blok pertahanan rapat yang sangat rendah. Ini bercermin pada pertemuan mereka sebelumnya di Emirates.
Salah satu alternatif solusi taktikalnya adalah menempatkan pemain yang jago tendangan jarak jauh di depan boks Arsenal. Inilah dasar Pep mendorong Alaba seolah menjadi seorang gelandang serang. Konsekuensi positif lainnya yang juga didapatkan Bayern adalah keberadaan Thiago di kedalaman half space kiri. Pemain Spanyol ini dapat menjadi konektor progresi Bayern dari lini belakang ke lini tengah dan depan. Distribusinya pun diyakini sangat yahud!
Pendekatan taktik Pep benar-benar sesuai skenario. Arsenal yang mainkan dua blok pertahanan 4 pemain (two banks of four) kerepotan atasi kecerdikan Alaba yang bermain efektif di ruang antar lini. Pengambilan posisi Alaba selalu berada di lubang-lubang di antara back four dan midfield four Arsenal. Posisi ini ideal, mengingat Alaba tidak terlihat oleh gelandang Arsenal. Juga, terlalu jauh untuk bisa di-marking oleh salah satu bek Arsenal. Kalaupun bek Arsenal putuskan untuk marking Alaba, maka akan tercipta situasi 3v3 di belakang. Plus lubang besar peninggalan bek yang naik marking Alaba.
Pada proses gol ketiga misalnya, Xabi mengirimkan umpan trough pass yang membelah midfield four Arsenal. Sebenarnya kontrol Alaba kurang sempurna, tetapi posisi berdirinya yang ideal memberikannya sedikit ruang lebih yang berujung pada tambahan sedikit waktu lebih. Waktu lebih ini dimanfaatkan Alaba untuk nyaman kuasai bola lewat sentuhan kedua dan ketiga. Pemulihan sentuhan ini membawanya ke situasi dapat lakukan tendangan berbuah gol.
Bukan Robot
Salah satu inovasi taktikal Pep adalah menempatkan fullback tidak pada titik maksimal di garis pinggir. Melainkan cukup selebar kotak penalty pada saat penyerangan mulai merangkak ke area lawan. Singkatnya, Alaba dan Lahm beroperasi di halfspace kiri dan kanan. Ini di luar kebiasaan fullback pada umumnya yang melebar maksimal dan aktif lakukan overlap sebagai konsekuensi sayap menggiring bola ke dalam (cutting inside).
Taktik Pep untuk memaksa lawan over-konsentrasi di tengah. Sehingga tercipta spatial dan qualitative overload di sayap. Coman, Costa atau Robben akan dengan mudah dapatkan situasi 1v1 di area yang luas. Sayap lawan juga tidak bisa menjepit sayap Bayern dari belakang, karena mereka harus berkonsentrasi masuk ke tengah untuk menjaga 5 pemain Bavarians. Di samping itu, keberadaan mereka di half space memudahkan counter pressing dibuat Bayern saat hilang bola.
Hal menarik yang dipertontonkan Alaba pada pertandingan tersebut adalah kemampuannya untuk begitu disiplin dengan taktik, tetapi di sisi yang lain begitu jeli membaca perubahan permainan. Taktik Pep adalah suatu panduan dasar tentang apa yang harus pemain lakukan di lapangan. Pergerakan tim Pep akan direspon oleh pergerakan lawan. Tumbukan dua pergerakan inilah yang menciptakan ruang untuk dieksploitasi. Jadi, taktik Pep adalah awal, selanjutnya tergantung ruang!
Hal ini terbukti pada kemampuan Alaba mengintepretasi taktik false fullback Pep Guardiola. Meski inti perencanaan taktik Pep adalah rotasi antara Alaba dengan Thiago, tetapi Alaba tak melakukannya mentah-mentah. Ada beberapa situasi saat Coman lakukan cutting inside dengan dribbling ke dalam, dijawab Alaba dengan overlapping melebar ke titik maksimal. Keluar dari konsep false fullback karena perubahan ketersediaan ruang.
Kelihaian membaca ruang Alaba dibuktikan juga pada kontribusinya pada gol ke-4 Bayern. Pada saat Coman sedang menyisir di posisi sayap kiri, Alaba melihat lubang di depan Mertesacker. Lubang ini terjadi tak lepas dari peran Lewy yang berdiri mengecoh Mertesacker. Ter-stretchnya back four Gunners dimanfaatkan oleh underlap cerdas Alaba yang umpannya kemudian diselesaikan dengan dingin oleh Robben. Yes, Alaba memang bukan robot!
Fullback Ultra Modern
Alaba adalah representasi fullback ultra modern di era sepakbola kekinian. Sebelumnya, fullback modern dituntut untuk selalu agresif naik menyerang lakukan overlapping. Fullback juga seringkali merupakan satu-satunya pemain kunci yang menjaga kelebaran. Ini adalah konsekuensi dari kebiasaan sayap untuk lakukan dribble cutting inside ke area sentral.
Kini berkat Pep, atribut kemampuan sepakbola untuk fullback ultra modern bertambah. Mereka wajib hukumnya dapat bermain di ruang sempit. Baik itu di kedalaman, maupun jauh di depan menyokong striker. Hal penting lain yang perlu dimiliki fullback ultra modern adalah kemampuan memainkan berbagai posisi dan fungsi, bahkan pada satu pertandingan yang sama. Terakhir, fleksibilitas saat merespon perubahan ketersediaan ruang dalam suatu pertandingan.
Tuntutan fullback ultra modern menjadi PR besar bagi pembina sepakbola usia muda. Tantangan terbesar adalah mencetak fullback ultra modern yang memiliki kemampuan setara atau melebihi David Alaba di kemudian hari. Mencetak fullback yang sekedar jago bertahan dan agresif overlapping sudah ketinggalan jaman. Kini saatnya mencetak fullback yang jago bertahan tetapi juga piawai menguasai bola di posisi manapun. Ayo cetak fullback ultra modern ala Alaba!
@ganeshaputera