top of page
K! EVENT
Recent Posts

Oh, Susahnya Menyerang!

Gelaran penyisihan dan babak 8 besar Piala Jendral Sudirman telah usai. Empat tim yakni Arema, Pusamania Borneo FC, Semen Padang dan Mitra Kukar berhasil melaju ke babak semifinal. Lolosnya empat tim ini plus kiprah 11 tim lainnya di penyisihan dan 8 besar menyisakan catatan fakta unik. Fakta itu adalah tim yang mendominasi penguasaan bola justru SULIT mendominasi permainan.

Statistik Labbola menunjukkan seringnya tim yang kalah dalam penguasaan bola, justru unggul dalam penciptaan peluang tendangan ke gawang. Kebanyakan juga akhirnya mampu memenangkan pertandingan. Semen Padang merupakan contoh terbaik. Pada game vs PS TNI, mereka hanya menguasai bola 46% saja. Menariknya dengan penguasaan bola minim tersebut, Kabau Sirah membukukkan 12 shots on goal berbanding dengan 6 milik PS TNI. Di penyisihan kontra Bali United, tim besutan Nilmaizar ini juga miliki 6 peluang tendangan ke gawang berbanding 4 peluang lawan. Padahal mereka hanya menguasai bola 41%.

Rapor Labbola juga mencatat bahwa tim yang bertengger pada rangking tertinggi untuk urusan possession adalah Bali United. Tim Pulau Dewata ini mencatat rata-rata 61% penguasaan bola. Sayangnya, Bayu Gatra dkk tak mampu memaksimalkan penguasaan bola tersebut menjadi peluang gol. Sepanjang 4 game penyisihan, mereka hanya mampu mencetak gol semata wayang. Akibatnya, Bali United harus gugur duluan.

Proaktif vs Reaktif

Ya, possession itu penting, mengingat tak ada gol tanpa penguasaan bola. Meski demikian, mengkonversi possession menjadi gol jauh lebih penting. Dalam sepakbola dikenal dua kutub permainan. Yaitu sepakbola proaktif dan reaktif. Sepakbola proaktif dimainkan dengan menjadikan possession sebagai titik awal. Tim berusaha terus menguasai bola sambil mencari ruang-ruang kosong yang dapat dieksploitasi. Eksploitasi ini berupa progresi ke depan dan penetrasi ke kotak penalti untuk melakukan finishing ke gawang lawan.

Kutub lain adalah sepakbola reaktif. Yakni menjadikan pertahanan sebagai titik awal. Tim berusaha mengkontrol ruang, sambil mencari kemungkinan untuk merebut bola. Pasca rebut bola, reaksi mereka adalah bermain cepat ke depan untuk memanfaatkan ruang-ruang besar yang tercipta saat lawan menguasai bola.

Menariknya, kecuali Arema, semua Semifinalis PJS menganut sepakbola reaktif. PBFC, Semen Padang dan Mitra Kukar gemar menggalang pertahanan rapat dan menghukum lawan via serangan balik kilat. Di 8 besar, praktis hanya Persipura dan Arema yang terus berusaha mainkan sepakbola proaktif. Anehnya, Persipura sendiri justru tampil trengginas saat mainkan sepakbola reaktif vs Bali United. Finishing buruk lah yang buat mereka hanya raih seri. Arema sendiri juga sukses bermain reaktif untuk kalahkan Persipura.

Memang perlu dilakukan riset dan penelaahan lebih mendalam lagi terhadap fakta di atas. Hanya saja, fakta ringan ini sebenarnya telah memberi suatu sinyal ringan tentang bagaimana buruknya pemain-pemain Indonesia saat momen menyerang. Tim yang berusaha proaktif seringkali justru terjebak menjadikan penguasaan bola sebagai tujuan, bukannya alat untuk mencetak gol. Kalau boleh sedikit kasar, tak salah kalau penulis mengatakan KITA MASIH BODOH saat MENGUASAI BOLA!!

3P

Sebenarnya apa penyebab mendasar tim yang menguasai bola tidak mampu mengkonversinya menjadi peluang cetak gol? Lalu, apa sih yang dibuat tim-tim Indonesia saat menguasai bola, sehingga mereka gagal lakukan progresi bola ke depan dan ciptakan peluang gol? Mari kita kupas!

Saat tim menguasai bola (menyerang), ada beberapa fase yang harus dilalui sebelum sampai terjadinya gol. Pelatih top dunia membaginya menjadi 3 bahkan hingga 5 fase. Untuk kita pemula, ada baiknya kita sederhanakan menjadi 2 fase saja. Yaitu membangun serangan dari bawah (build up from the back) dan goalscoring (mencetak gol). Tujuan build up adalah melakukan progresi bola dari belakang, hingga ke tengah dan depan. Sedangkan goalscoring bertujuan untuk melakukan inisiasi ke kotak penalti untuk kemudian diselesaikan ke gawang.

Keduanya saling berhubungan. Lemahnya kemampuan tim dalam mem-build up serangan dipastikan akan berujung pada buruknya goalscoring. Ya, tidak mungkin inisiasi peluang gol bisa tercipta, bila build up-nya sudah gagal. Sebaliknya, kehebatan dalam build up juga belum cukup untuk bisa menciptakan peluang gol. Diperlukan berbagai usaha penetratif ke kotak penalti untuk bisa mengkonversi penguasaan bola tersebut menjadi peluang.

Pada Video DesportivoUFC di atas, Thierry Henry menceritakan filosofi 3P ala Pep Guardiola. Yaitu POSITION, PLAY dan POSSESSION. Posisi merujuk pada penempatan berdiri pemain yang tanpa bola membantu pemain dengan bola. Berbekal posisi tersebut, Pep kemudian meminta pemain untuk terus mainkan bola (PLAY). Tujuannya sebenarnya bukan untuk gerakkan bola, tapi untuk gerakkan lawan. Dengan posisi dan sirkulasi bola, tim dapat nyaman dominasi POSSESSION untuk cari peluang progresi dan gol.

Dari ketiga P tadi, Henry bercerita bahwa Pep selalu mendoktrin bahwa POSISI adalah yang paling penting dan dasar dari semuanya. Nah, inilah salah kaprah terbesar pada tim Indonesia yang “keblinger” ingin kuasai possession. Untuk mewujudkannya tidak cukup dengan permainan satu-dua sentuhan. Atau kemampuan pemain dalam passing atau turning. Semuanya bermodal posisi. Lalu dengan posisi akurat, pemain jadi lebih mudah melakukan permainan passing, turning, dst.

Posisi

Dalam membangun serangan, tim-tim Indonesia amat boros dalam hal jumlah pemain yang terlibat. Gambar di atas adalah situasi penyerangan yang dilakukan oleh Bali United kontra Persipura. Bayu Gatra main formasi 1-4-3-3. Sedang, Persipura galang formasi 1-4-4-2 dengan menurunkan blok pertahanan rendah hingga ke area ½ lapangan sendiri.

Pada gambar terlihat Bali United gunakan 8 pemain (termasuk kiper) untuk build up. Tentu jumlah ini mubazir. 8 pemain ini memang dapat dengan mudah melakukan passing diantara mereka (menguasai possession). Mengingat mereka semua beroperasi di luar blok pertahanan Persipura. Pertanyaanya, adakah peluang untuk lakukan passing progresi ke depan? Jelas Tidak! Ketiadaan pemain yang berada di kerumunan blok pertahanan Persipura membuat siapapun di belakang tak bisa lakukan progresi ke depan.

Konsekuensi lain yang terjadi adalah mubazirnya peran beberapa pemain, karena mereka mengokupansi ruang yang sama. Pada gambar jelas terlihat, bahwa gelandang sendiri yang mengambil bola dari stoper, lalu berusaha lakukan progresi dari belakang ke tengah. Praktis kedua stoper sudah tidak terlibat lagi pada serangan ini. Belum lagi pengambilan posisi Fadil dan Sandi justru mempersulit Paulo. Ketiganya berada pada jalur passing yang sama. Sandi tak bisa di passing karena tertutup Fadil. Sedang Fadil hanya tiga meter di depan Paulo. Ketiganya pun masih di luar blok pertahanan Persipura. Alamaak!

Bandingkan dengan gambar di atas, saat Timnas Thailand kontra Indonesia di SEAG 2015. Situasinya begitu mirip, dimana Thailand gunakan 1-4-3-3 kontra Indonesia yang seperti Persipura juga bangun blok pertahanan rendah. Jelas tampak bedanya bahwa inisiatif progresi dari belakang ke depan dilakukan sendiri oleh stoper. Situasi ini membuat Thailand tak perlu melibatkan banyak orang dalam menyusun build up dari kedalaman.

Konsekuensi positifnya, pemain lain dapat fokus mengambil posisi di kerumunan (ruang antar lini). Dengan banyaknya pemain di ruang antar lini, progresi dari belakang, tengah ke depan jadi lebih mudah. Ini berujung positif lagi pada fase berikutnya, yaitu goalscoring. Jumlah pemain banyak di depan pasti lebih mudah untuk ciptakan peluang gol. Bandingkan dengan gambar Bali United, dimana praktis di ruang antar lini hanya tersisa 3 orang. Logikanya, jangankan peluang gol, progresi dari belakang ke tengah saja sulit!

Ruang Antar Lini

Ide melakukan build up dengan banyak pemain di sepakbola ditopang oleh kebiasaan gelandang kita yang hobi turun jemput bola ke bawah. Konsep support selalu diartikan dengan mendatangi kawan dengan bola. Bahkan sering gelandang turun merapat ke stoper dan ambil bola dengan teknik take over, WOW! Jelas, gelandang Indonesia memang tidak memahami konsep Ruang Antar Lini. Thiery Henry bercerita di Barcelona pengambilan posisi di ruang antar lini wajib hukumnya. “Don’t come to your teammates, stay in your position, trust your teammates,” ujarnya.

Definisi ruang antar lini adalah adalah ruangan yang tersedia diantara lini belakang, tengah dan depan saat lawan sudah mengorganisir pertahanan. Pada gambar di atas, tim putih mengorganisir blok pertahanan rendah dengan formasi 1-4-2-3-1. Tersedialah 4 ruang antar lini yang perlu diisi secara merata sesuai kebutuhan oleh pemain tim yang menguasai bola.

Pada gambar di atas tergambar tim Orange tidak memposisikan pemainnya secara merata di ruang antar lini. Seperti biasa gelandang datang ke stoper untuk jemput bola. Harapannya, ia bisa membantu stoper punya pilihan passing. Gelandang tersebut tak sadar bahwa meski dapat menerima bola dengan bebas, di depannya masih ada 11 pemain lawan. Memang ia punya banyak pilihan passing, tapi tak satupun passing progresi ke depan dapat dilakukan. Ia hanya dapat lakukan passing di area pertahanan sendiri.

Pada gambar di atas pengambilan posisi pemain jauh lebih ideal. Semua pemain menyebar merata di ruang antar lini. Progresi serangan dari belakang ke tengah dilakukan sendiri oleh stoper dengan mendatangi blok pertahanan lawan. Mengingat lawan gunakan 1-4-2-3-1, maka tercipta 2v1. Ketika Orange No.3 lakukan drive dribble ke no 9, otomatis ia membebaskan pemain Orange No.4. Saat passing dilakukan, pemain Orange No.4 berada dalam situasi free. Nikmatnya, ia kemudian memiliki banyak sekali opsi passing ke depan.

Belah Ketupat

Pengambilan posisi secara merata di ruang antar lini ternyata tidak cukup untuk sebuah tim yang sedang menguasai bola untuk bisa ciptakan progresi dan peluang gol. Kebiasaan lain tim-tim Indonesia pada saat menyerang adalah struktur posisional yang buruk. Pada foto percobaan build up Sriwijaya FC vs Persija di atas, sebenarnya pemosisian gelandang lumayan baik. Dimana gelandang berada di ruang antar lini, tidak turun untuk jemput bola ke stoper.

Sayangnya posisi dua stoper dan dua gelandang bertahan yang membentuk posisi kotak bukanlah posisi ideal untuk Sriwijaya FC bisa lakukan progresi ke depan. Ini merupakan penyakit tim yang memainkan 1-4-2-3-1. Hampir semua tim-tim PJS memainkan formasi ini. Tak heran masalah ini terjadi pada banyak tim kontestan PJS . Dimana saat menyerang, kedua gelandang bertahan statis, sehingga justru malah menutup jalur passing ke depan tim mereka sendiri.

Untuk mempermudah, foto Sriwijaya FC dituangkan pada ilustrasi di atas. Terlihat jelas bahwa dengan tidak datangnya gelandang membuat Stoper No.3 dan 4 leluasa memainkan bola di area belakang 2v1 kontra striker Persija. Meski demikian, pilihan passing ke depan stoper terbatas pada dua gelandang bertahan (No.6 dan 8) serta bek kiri dan kanan (No 2 dan 5). Persoalannya tidak satupun gelandang maupun fullback Sriwijaya yang kemudian bebas dan dapat memprogresi bola ke depan.

Satu-satunya cara untuk bisa lakukan progresi ke depan adalah melakukan sedikit perpindahan posisi menyesuaikan ruang yang tersedia. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, tetapi yang paling penting adalah membentuk belah ketupat. Hanya dengan bentuk belah ketupat, pemain selalu punya opsi passing ke depan lewat umpan vertikal ataupun diagonal. Opsi yang tidak akan terjadi bila posisi pemain membentuk kotak.

Cara yang paling populer digunakan pada formasi 1-4-2-3-1 adalah mendorong salah satu gelandang bertahan ke depan seperti pada gambar di atas. Lalu pemain gelandang bertahan memposisikan dirinya di tengah, ciptakan belah ketupat dengan pemain yang menguasai bola. Transposisi semacam ini yang menciptakan belah ketupat membuat Sriwijaya FC tentunya lebih mudah untuk progresi ke depan.

Dimana seperti gambar di atas, pemain No. 3 dapat leluasa melakukan dribble ke depan tanpa terhalang oleh gelandang bertahan yang tadinya di depannya. Tujuan dribblenya adalah untuk menarik striker Persija bergeser mempress. Segera setelah Striker Persija bergeser, pemain No.3 passing ke No.4. Pada situasi ini, striker Persija sudah “mati” alias tidak terlibat dalam permainan. Sehingga pemain No.4 Sriwijaya dapat menikmati situasi 4v2. Bolapun akan mudah diprogresi ke depan untuk ciptakan gol.

Dosa siapa ini? Dosa kita semua (termasuk penulis tentunya). Gagapnya tim-tim Indonesia saat menguasai bola menjadi tamparan bagi seluruh pelaku sepakbola. Utamanya di pembinaan usia muda sebagai fondasi. Fakta di level profesional memecut kita bahwa pemain jebolan pembinaan usia muda ternyata tak pandai menyerang. Mari kita introspeksi diri untuk lebih baik ke depannya. Jelas, apa yang kita lakukan sekarang tidak cukup untuk mencetak pesepakbola modern yang jago bertahan, menyerang dan transisi. Ayo berbenah, Cetak Pemain Komplit! <>

@ganeshaputera

ganesha@kickoffindonesia.com

bottom of page