Akhir pekan lalu, penulis sempat berdiskusi panjang dengan Guntur Utomo, salah satu pelatih di balik sukses Timnas U19. Ia menerangkan dengan gamblang kunci permainan Timnas U19 yang dimotori oleh trio Evan-Zul-Hargi. Menurutnya, tanpa disengaja ketiga pemain tersebut adalah pengagum FC Barcelona. Kemudian secara bawah sadar, ketiganya juga selalu membentuk segitiga dan berlian (diamond). Baik sesama mereka, maupun dengan pemain lain.
Sayangnya menurut Guntur, kerjasama apik ketiganya baru terjalin singkat sejak di timnas. Tidak satupun diantara ketiganya, bahkan seluruh punggawa Timnas U19 lain terbiasa mainkan pengambilan posisi segitiga dan berlian sejak muda. Katakanlah sejak usia 9-10 tahun, terus diasah di fase usia berikutnya. Tak heran, model permainan posisi tersebut tidaklah kuat tertanam di otak sepakbola mereka. Sehingga pada konteks sepakbola level lebih tinggi dengan sedikit ruang dan waktu, model ini punah begitu mudah.
Perbincangan ini kemudian mengarah ke format game kompetisi usia muda. Sejauh mana format game kompetisi usia muda di tanah air mengakomodir proses belajar bermain sepakbola yang benar. Kesimpulan diskusi tengah malam tersebut amat menyedihkan. Ya, format game kompetisi usia muda di republik ini justru mematikan proses belajar bagi pemain muda. Sudah kompetisi usia muda jarang diadakan, ternyata saat diadakan justru mematikan proses belajar bersepakbola yang benar. Lengkaplah derita sepakbola kita!
Lapangan Kekecilan
Permainan sepakbola dimainkan oleh 11 orang melawan 11 orang di lapangan seluas katakanlah 70 x 100 m. Itu adalah format game kompetisi yang dimainkan di sepakbola top level. Tentu pada pembinaan usia muda, format game tersebut harus dimodifikasi. Sebab tidak mungkin seorang pesepakbola cilik pemula harus bermain 11 vs 11 di lapangan ukuran normal. Sungguh proses belajar yang tidak sehat.
Prinsip metode belajar yang digunakan di sepakbola sangat logis dan simple. Yaitu pemain pemula harus belajar dari situasi yang paling sederhana hingga perlahan-lahan bertambah kompleksitasnya menjadi makin rumit menuju ke 11 vs 11 normal. Sehingga harus dirumuskan format game kompetisi usia muda dengan pertimbangkan perkembangan usia pemain. Makin muda pemain, maka format gamenya harus makin sederhana. Makin tua pemain, format gamenya dibuat makin mendekati 11 v 11 normal.
Sayangnya penyederhanaan format game kompetisi usia muda di Indonesia dikerdilkan menjadi sekedar pengurangan jumlah pemain dan pengecilan ukuran lapangan. Jadilah di Indonesia, pemain usia 10 tahun ke bawah bermain 5v5 atau 7v7. Lalu di usia 11-12 tahun, pemain bermain 8v8 atau 9v9. Game 5v5 dimainkan di lapangan sekitar 20x30m. 7v7 di lapangan sekitar 30x40m dan 8v8/9v9 di lapangan 40x60m.
Dalam sepakbola normal, 22 pemain bermain di lapangan seluas misal 70x100m. Artinya secara sederhana, setiap satu pemain harus berbagi ruang dengan satu pemain lawan di area sekitar 6x9m. Makin tinggi level sepakbola, pemain akan memiliki lebih sedikit ruang. Konsekuensi sedikitnya ruang berujung pada makin sedikitnya waktu yang dipunyai pemain untuk ambil keputusan dan mengeksekusi teknik. Tak heran di sepakbola level tinggi, pemain miliki keputusan dan eksekusi teknik prima.
Bagaimana dengan format game untuk anak-anak? Tentu di sepakbola anak-anak, pemain perlu diberikan ruang lebih. Dengan ruang lebih, pemain akan punya waktu lebih untuk melihat, berpikir, memutuskan dan mengeksekusi teknik. Jadi pastinya tingkat kepadatan lapangan tidak boleh seketat pada game sepakbola normal.
Kenyataannya, hal yang terjadi sebaliknya. Pada usia 12 tahun dengan game 9v9 di 40x60m, maka rata-rata setiap 1v1 akan terjadi di bagian lapangan hanya sekitar 4,5x6,5m. Di game 7v7 pada lapangan 30x40m lebih gila lagi, 1v1 terjadi pada area sekitar 4,2x5,8m. Lalu di game 5v5 pada lapangan 20x30m, 1v1 terjadi di area sekitar 5x6m.
Perbandingan Kepadatan Lapangan antara 11v11 dan 9v9
Kondisi lebih rumit terjadi di turnamen usia muda paling akbar gelaran produsen makanan Prancis. Di game 8v8 tersebut, diberlakukan area offside. Konsekuensinya, lapangan menjadi makin pendek. Sebab seorang striker yang tadinya bisa berdiri ciptakan kedalaman maksimal, harus turun keluar area offside. Belum lagi kehadiran pak wasit yang bikin lapangan sempit jadi makin sempit.
Bagaimana mungkin pemain bisa belajar mengambil keputusan dan mengeksekusi teknik dalam situasi format game sepadat itu? Pemain sekaliber Messi, Muller atau Torres saja memiliki rataan area lapangan 1v1 lebih luas dari pada anak-anak pemain pemula. Lalu kemudian, adik kecil kita yang baru belajar menendang bola justru harus bermain dalam ruang lebih sempit. Rasanya orang idiot sekalipun mengerti bahwa ukuran lapangan yang dipakai untuk game kompetisi usia muda di Indonesia sungguh tak mendidik!
Berlian Otomatis
Persoalan berikutnya dari format game kompetisi di Indonesia adalah jumlah pemain. Dalam hal ini penulis menyoroti format game 5v5, 8v8 dan 9v9. Jantung permainan sepakbola modern adalah posisi. Dimana saat semua pemain ambil posisi berdiri efektif, maka tim dapat memanfaatkan seluruh ruang secara maksimal.
Saat tim menguasai bola, bentuk yang disarankan adalah berlian (diamond shape). Format berlian efektif untuk tim terus menguasai bola dengan mudah. Sebab semua pemain akan selalu memanfaatkan panjang dan lebar lapangan. Plus pemanfaatan ruang merata tersebut juga memungkinkan terjadinya vertical dan diagonal pass (Baca Tulisan 4v2). Oleh karena itu, tim harus menciptakan diamond dimana-mana, terutama di sekitar bola.
Nah persoalannya, prinsip diamond akan lebih sulit diajarkan pada format Game 5v5, 8v8 dan 9v9. Ini terjadi karena pada format game tersebut, selalu menyisakan orang lebih jika semua pemain lain telah membentuk diamond. Pada format game 9v9 yang terjadi adalah double diamond sisa dua pemain. Pada 8v8, double diamond sisa satu pemain. Terakhir pada 5v5, diamond tersisa satu pemain.
Memang pada format game dengan jumlah pemain berapapun, diamond shape senantiasa bisa diciptakan lewat pergerakan. Artinya pemain lain bisa bergerak berotasi untuk terus memelihara bentuk diamond di sekitar bola. Hanya, hal ini terlalu sulit untuk pemain pemula. Otak sepakbola pemain pemula lebih terfokus pada pengolahan bola. Jika ia dituntut juga harus berpikir soal pergerakan, maka kualitas proses belajar tekniknya akan banyak tereduksi.
Contoh konkret adalah pada Game 5v5 (lihat gambar bawah). Jika formasinya adalah 1-1-2-1, maka secara otomatis pada saat permainan, kiper tidak terlibat. Posisi kiper dan bek tengah bertumpuk. Dimana bek tengah senantiasa menutupi kiper. Untuk ciptakan diamond, bek tengah harus naik ke tengah. Sehingga tercipta diamond, sisa 1 pemain di depan. Nah sisa 1 pemain di depan juga terpaksa harus bergerak ke kiri ke kanan untuk memelihara bentuk diamond. Rumit bukan?
Perbandingan Kerumitan antara 5v5 dan 4v4
Untuk itu format game ideal untuk usia muda ialah 4v4 (tanpa kiper) dan 7v7. Katakanlah 4v4 di area 30x40m. Berarti setiap 1v1 akan terjadi di area 8x10m. Sedangkan format game 7v7 bisa dilakukan di area misal 50x70m. Sehingga rataan area untuk setiap 1v1 adalah 7x10m. Ukuran lapangan ini bisa dimodifikasi secara bebas menyesuaikan kondisi local masing-masing. Hal yang terpenting adalah penyesuaian ukuran lapangan ini jangan membuat sepakbola anak-anak malah jadi lebih sulit daripada sepakbola normal.
Hal positif lain dari format 4v4 dan 7v7 adalah terciptanya diamond tanpa tersisa satu pemainpun. Bila tim bermain 1-2-1 untuk 4v4 maka akan tercipta bentuk diamond. Lalu bila tim main 1-2-1-2-1 untuk 7v7, maka tercipta double diamond. Hebatnya di kedua format game tersebut, bentuk diamond dapat tercipta secara otomatis. Tanpa pemain harus banyak bergerak.
Alasan di atas juga menjadi penegas mengapa DFB Jerman, KNVB Belanda dan banyak negara sepakbola maju lain gunakan 4v4 dan 7v7. Kedua format game ini adalah format baku game kompetisi resmi usia muda mereka. Mereka tak mengenal format selain 4v4 dan 7v7 dalam perjalanan menuju ke 11v11. Kalaupun ada game berformat lain, biasanya hanya dilakukan saat turnamen di jeda musim.
Tantangan di Akar Rumput
Setelah kupasan mendalam ini, kini perlu dilakukan suatu terobosan untuk mengubah format game kompetisi usia muda kita. Kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa. Jika ingin lebih berkontribusi pada peningkatan level sepakbola, maka format game usia muda di lapangan sempit dengan jumlah pemain rumit harus ditinggalkan.
Tentu mengaplikasikan suatu hal yang baru tidaklah mudah. Penulis membayangkan format game kompetisi ideal ini akan banyak mengundang protes. Mungkin dari pembina, pelatih dan pastinya orang tua. Pasti akan muncul protes keras soal kok tidak pakai kiper, kok pemainnya lebih sedikit dan berbagai keluhan remeh temeh lainnya. Sampai kapan?