Laga Barito kontra Persija, Minggu (29/5) di Stadion 17 Mei – Banjarmasin menjadi petaka bagi anak asuh Paulo Cammargo. Untuk pertama kalinya, Persija harus menelan kekalahan. Rekor fantastis 8 poin dari 4 game terpaksa harus terhenti di laga away tersebut. Laga ini juga menjadi laga kedua beruntun, Persija gagal mencetak gol.
Menjaga pameo “don’t change the winning team”, duet pelatih Paulo Cammargo-Jan Saragih tidak banyak mengubah komposisi skuad. Tetap memainkan 1442, Andritany mengawal lini belakang Macan Kemayoran bersama kuartet Ismed, William, Maman dan Rama. Kuartet gelandang diisi oleh Novri, Hoon, Amarzukih dan Rezaldi “Bule”. Menopang kinerja duet Jose dan Ambrizal.
Mundari Karya jutru menampilkan formasi kejutan. Tampaknya cedera Dedi Hartono mendorong Coach MK untuk turun dengan 13511. Aditya berkolaborasi dengan trio Hadji, Roby dan Hanzamu. Lini tengah diisi oleh trio Lucky Wahyu, Paulo dan Adam Alis. Trio ini diapit oleh Fathur sebagai wingback kiri dan Amirul di kanan. Duet maut Ibrahim Conteh dan Carlos menjadi penggedor Barito.
Superioritas Barito
Secara natural tumbukan formasi kedua tim, menciptakan beberapa keunggulan jumlah orang bagi Barito. Pertama, di lini bawah terjadi situasi 3 (+1 GK) v 2. Lalu di lini tengah juga terjadi situasi 3v2. Satu-satunya keunggulan jumlah orang adalah di flank area, dimana 1 wingback Barito harus berhadapan dengan 2 lawan. Yakni fullback dan winger Persija.
Keunggulan menang jumlah di bawah tidak terlalu dimanfaatkan oleh Barito untuk melakukan build up konstruktif dari bawah. Pada banyak kesempatan Aditya Harland lebih sering melakukan goalkick direct ke depan mencari Carlos. Padahal ketika beberapa kali Barito melakukannya, terbukti cukup efektif untuk memprogresi serangan ke lini tengah dan depan.
Superioritas total Barito justru terjadi di lini tengah. Kenyataannya bukan cuma terjadi situasi 3v2 seperti yang diperkirakan, tetapi justru terjadi 4v2. Ibrahim Conteh secara konstan turun ke ruang antar lini antara back four line dan defensive midfield line Persija. Situasi ini membuat pelik duet Amarzukih dan Hoon. Secara natural, Amarzukih di kiri cenderung mengawal Adam Alis di kanan. Sedangkan Hoon di kanan cenderung terfokus pada Paulo. Atau sebaliknya, saat Adam dan Paulo berotasi.
Situasi ini membuat Lucky Wahyu dan Ibrahim Conteh menjadi benar-benar bebas. Nyaris terjadi situasi seperti permainan kucing-kucingan 4v2 di tengah. Hoon yang seharusnya focus menjaga compactness akibat kalah jumlah orang, justru liar mempressing Lucky Wahyu. Ini merupakan penyakit Hoon sejak game pertama yang selalu melakukan penjagaan berorientasi orang (man marking). Hoon sering tertarik keluar dari area sentral karena mengikuti lawan. Bahkan hingga jauh melebar atau ke depan.
Konsekuensi dari liarnya Hoon adalah Persija kehilangan midfield compactness-nya. Ini makin membuka jalur passing ke Paulo yang bergerak di halfspace sebelah kiri. Ibrahim Conteh juga makin merajalela akibat besarnya ruang antar lini yang ia miliki (Menit 20:15). Persija sedikit tertolong karena buruknya body shape Conteh yang sering masih menerima bola full membelakangi gawang. Sehingga ia membutuhkan waktu lebih lama untuk lakukan turning dan progresi ke depan.
Bebas totalnya Ibrahim Conteh memberi konsekuensi lain bagi Persija. Demi mempressing Conteh, Ismed Sofyan terpaksa meninggalkan posisinya. Sayangnya solusi ini tidak efektif dan justru meninggalkan lubang baru di pertahanan Persija. Hal ini terlihat pada manuver serangan Barito berbahaya di Menit 24:00 dan Menit 28:30. Di kedua momen tersebut, terlihat Ismed tertarik dan tercipta lubang besar di area bek kanan. Pada akhirnya di area ini pula, Barito sukses cetak gol melalui permainan solo Rizky Pora.
Sebenarnya berapapun jumlah pemain yang dimiliki Barito di lini tengah tidaklah menjadi masalah. Apabila 1442 Persija mampu menjaga kerapatannya. Pertahanan ini harus dimulai dari kedua striker Persija. Problem duet Jose dan Ambrizal adalah keduanya sering terpecah berjauhan. Sehingga selalu terbuka jalur passing ke Lucky Wahyu yang berdiri bebas.
Seandainya Jose-Ambrizal disiplin memfokuskan diri berdekatan rapat, maka akan memaksa Barito untuk keluar menyerang lewat pinggir. Dimana secara natural area pinggir bukan strong point Barito yang hanya memiliki seorang wingback di sana (1v2). Kalaupun Barito membuild serangan dengan stoper kiri-kanan, maka Persija akan memiliki peluang counter attack yang besar.
Ismed Sebagai Playmaker
Carut-marutnya organisasi pertahanan yang digalang Persija tidak juga diikuti oleh organisasi penyerangan yang terstruktur. Anehnya, pada laga tersebut playmaker Persija adalah Ismed Sofyan. Hampir semua bangunan serangan Persija dimulai dari bek kanan senior ini. Setiap kali Andri meletakkan bola goalkick, kedua stoper Persija tidak melebar. Justru, Ismed selalu turun ke bawah untuk melakukan build up.
Hal ini cukup aneh mengingat Barito mengorganisir pertahanan dengan varian struktur 13511 yang mengarah ke 13331. Dimana Ismed dan Rama tidaklah free, melainkan selalu ditracking oleh Paulo dan Adam. Tentunya situasi ini lebih efektif bila Persija membuild up serangan via William dan Maman. Alih-alih turun minta bola, Ismed dan Rama akan lebih efektif bila naik untuk memaksa Paulo dan Adam turun. Sehingga tercipta situasi 2v1 untuk kedua stoper Persija.