Pekan lalu, penulis berkesempatan untuk terlibat dalam kegiatan “Pejuang Lapangan Hijau” dalam rangka memperingati HUT RI ke-71. Kegiatan yang digagas oleh Tiga Naga Football Academy - Pekanbaru ini merupakan kegiatan edukatif. Siangnya, penulis bersama Coach Danurwindo berkesempatan untuk berbagi dengan pelatih SSB se-Pekanbaru. Malamnya sebagai puncak acara, trio Bambang Pamungkas, Bima Sakti dan Kurniawan memberi motivational talk yang begitu menggugah dan inspiratif.
Salah satu cerita inspiratif yang sangat menohok datang dari Bima Sakti. Ia bercerita pengalamannya saat berlatih di Helsinborg, Swedia. Dalam beberapa kesempatan latihan perdana, Bima sering berduel 1v1 dengan Roland Nilsson, pemain tim nasional Swedia dengan 100+ caps. Ketika itu Bima muda yang pemalu, sedikit grogi dan sungkan dengan kemilau reputasi Nilsson. Ujungnya, Bima sering kalah dalam duel.
Dalam suatu momen 1v1, Roland tak tahan lagi. Ia menendang bola jauh-jauh, mencekik Bima Sakti dan menghardik “Kamu mau latihan gak? Kenapa kamu tidak pernah total rebut bola dari saya?” Insiden yang membuka mata Bima Sakti bahwa latihan adalah sebuah pertandingan. Sejak itu, Bima selalu pulang latihan dengan kado luka baret dan bengkak. “Kalau pulang belum ada luka, belum latihan!” ujarnya.
Apakah Roland melakukan itu karena peduli dengan Bima Sakti? Mungkin tidak! Ia sebenarnya amat egois. Jika dalam latihan, Bima Sakti selalu sungkan dalam duel, maka Roland tidak akan dapat latihan berkualitas. Roland pasti akan menurun penampilannya. Alih-alih Roland menikmati kenyamanan sebagai pemain senior, ia memaksa lingkungannya justru memberi ketidaknyamanan pada dirinya. Luar Biasa!
Budaya
Bagaimana sepakbola di Republik yang sudah mulai menua berusia 71 tahun ini? Cerita Bima berlanjut saat ia kemudian dipanggil ke TC Tim Nasional Pra Piala Asia. Berangkat dari Helsinborg ke timnas, Bima membawa kebiasaan latihan adalah pertandingan. Beberapa duel dan tebasan sportifnya berbuah ledekan, “Selow friend, ini cuma latihan doang,” ujar rekan-rekan di Timnas.
Di usia 41 tahun sekarang, ia masih bermain di level tertinggi sepakbola Indonesia. Bima bercerita dirinya masih menemukan pemain senior yang minta diistimewakan dalam latihan. Pemain muda tidak boleh serius saat duel lawan mereka. Sebaliknya pemain junior juga sering terlalu sungkan pada senior. “Itulah sebabnya saya masih bisa bikin gol di liga sekarang, karena mereka sungkan jaga saya,” ujarnya bercanda. Situasi yang diamini oleh Bambang Pamungkas dan Kurniawan.
Belum lama berselang, kejadian serupa kembali berlangsung dalam konteks berbeda. Di game Persija vs PSM kemarin (21/8), Andritany adalah kapten. Di pertengahan babak ke-2, Bambang Pamungkas masuk dari bangku cadangan. Kehebohan terjadi, Andritany sibuk melepas ban kapten dan segera mengirimkannya pada Bambang. Jika ini adalah instruksi pelatih, maka itu adalah hal yang lumrah. Selesai masalah!
Hanya saja, bila seandainya (sekali lagi ini seandainya) memang tidak ada instruksi pelatih soal hal tersebut, maka jelas kultur sepakbola kita yang dikeluhkan Bima Sakti kembali terjadi. Budaya menghormati yang lebih tua seharusnya diterjemahkan lebih objektif di sepakbola. Bukankah menghormati senior terlalu berlebihan jika harus diterjemahkan dengan mengoper ban kapten dan melanggar instruksi pelatih?
Mengapa seorang pemain yang lebih muda tidak berpikir objektif dan mengatakan, “Saya menghargai amanah pelatih. Saya adalah kapten yang harus memimpin semua pemain. Tua muda, senior junior, lama baru, siapapun dia!” Penulis yakin siapapun pemain senior di republik ini pasti setuju dengan hal ini. Mudah-mudahan alinea ini hanyalah pengandaian yang fiktif. Sebab mungkin saja sebenarnya yang terjadi memang Jan Saragih memerintahkan Andritany untuk mengoper ban kaptennya kepada Bambang Pamungkas.
Jika kejadian tadi masih pengandaian, penulis akan menceritakan pengalaman nyata di pembinaan usia muda. Kali ini bukan soal tua-muda, tapi soal budaya kritik. Dalam suatu latihan, seorang stoper melakukan backpass ke kiper. Passing yang keriting dari stoper membuat bola sulit dikontrol. Bola tercuri dan tim kebobolan. Ekspresi kiper dan stoper datar dan saling terdiam.
Dalam evaluasi, pelatih bertanya ke kiper: “Apa masalahnya kenapa kok tadi salah kontrol?” Si kiper hanya terdiam. Setelah latihan selesai si kiper menghampiri pelatih dan katakan, “Coach, passing dari dia keriting tadi!” Seolah ketiban kesempatan, penulis melompat dalam pembicaraan. “Kalau passing kawanmu keriting, kenapa kamu diam saja? Mengapa kamu tidak memarahinya?”. Si kiper pun menjawab spontan “Gak enak om, kan dia teman saya” serunya.
Jika si kiper adalah Roland Nillson, sudah pasti si stoper kena cekik. Dengan kiper memarahi stopernya, sebenarnya ia sedang menjaga seluruh tim untuk memelihara standar tinggi. Dengan menuntut rekan setim lakukan passing bagus, ia juga menuntut dirinya lakukan passing bagus. Persoalannya, banyak pemain tidak mau memarahi kawannya, supaya ia juga tidak dimarahi kalau salah passing. Sungguh budaya yang secara tidak sadar memelihara lingkungan untuk berperforma sedang-sedang saja. Mengerikan!
Lawan
Berbagai kisah nyata di atas merupakan fakta pembuka mata menarik. Bangsa kita konon berbudaya dan memiliki tradisi yang luhur. Kenyataannya, banyak tradisi dan budaya tersebut yang bertentangan dengan nilai dan etos kerja sepakbola top level professional.
Budaya menghormati yang lebih tua secara tidak sadar membuat pemain kehilangan objektivitas sepakbolanya. Apakah seorang yang lebih muda harus sungkan berduel dengan pemain senior? Apakah seorang pemain yang lebih muda harus tunduk pada pemain yang lebih senior meskipun ia diperintahkan pelatih menjadi kapten?
Demikian juga dengan budaya kritik di sepakbola. Apakah memarahi rekan setim di dalam permainan adalah haram? Haruskah pemain menunggu situasi berdua dengan pelatihnya, baru menyampaikan kritik? Jelas di sepakbola itu mustahil. Kesalahan yang dibuat harus dikoreksi saat itu juga. Permainan sepakbola tidak bisa menunggu.
Penulis ingin menutup dengan kisah Guus Hiddink di Korea Japan 2002 dari buku “How Simple Can it be?” karya Frank van Kolfschooten. Saat melatih Korsel, Hiddink menemukan permasalahan besar. Setiap pemain senior teriak minta bola, pemain muda selalu memberikannya. Bahkan dalam situasi tidak bagus sekalipun. Pemain muda lebih memilih passing melebar ke senior, ketimbang penetrasi cetak gol.
Untuk mengikisnya, Hiddink melakukan revolusi. Setiap makan, ia merotasi komposisi duduk pemain. Hong Myung Bo misal tiba-tiba harus duduk dengan Cha Du Ri yang berbeda 10 tahun lebih usianya. Kecanggungan yang terjadi pada awalnya mulai mencair. Pemain saling menghormati dalam konteks sepakbola, bukan budaya dan usia.
Puncaknya dalam suatu perayaan kemenangan Korsel atas Spanyol di Perempat Final, dilakukanlah pemotongan kue raksasa. Secara spontan, salah satu pemain termuda mengambil kue bagian teratas kemudian melemparnya ke Hong Myung Bo, kapten tim. Acara yang disiarkan langsung ke seluruh negeri sedikit banyak merevolusi budaya hirarki di Korea. Hiddink bukan cuma mengubah sepakbola, tetapi merevolusi budaya lewat sepakbola.
Jadi ketika budaya dan tradisi bangsa kita yang katanya luhur itu bertentangan dengan tuntutan sepakbola top level professional, apa yang harus kita lakukan? Sepakbola harus menjadi tuan di rumahnya sendiri, dengan tradisi, kultur dan budanyanya sendiri. Untuk itu hanya ada satu kata: LAWAN! Untuk kehidupan (sepakbola) yang lebih baik!
@ganeshaputera
Co-Founder www.kickoffindonesia.com
Pusat Kepelatihan Sepakbola
Tulisan versi asli dari yang dimuat di bola.com