top of page
K! EVENT
Recent Posts

Pesan Penting Timnas AFF 2016 untuk Pembinaan Usia Muda!

Timnas Indonesia kembali untuk kelima kalinya menjadi Runner Up di Piala AFF 2016. Di final, Boaz dkk takluk 2-3 dari tim Gajah Putih besutan Kiatisuk Senamuang. Kita harus memberikan apresiasi pada perjuangan timnas. Tapi, di sisi lain kita juga harus menyikapi secara kritis prestasi ini dengan suatu refleksi yang introspektif. Bangga boleh, cepat puas jangan!

Kemandekan prestasi ini harus dimulai dengan sebuah kejujuran bahwa masih banyak yang kurang dalam pembinaan usia muda kita. Ini meliputi sktruktur klub usia muda, kompetisi usia muda, kepelatihan usia muda dan infrastruktur usia muda. Semua saling terkait dan perlu mendapatkan perhatian yang semestinya. Usia muda jangan lagi hanya menjadi komoditi dan bahan kehumasan yang seksi. Melainkan perlu dibuat suatu perencanaan dan agenda aksi yang kongkret.

Pada tataran teknis, performa timnas di Piala AFF 2016 memberikan banyak pelajaran penting. Yakni tentang hal penting apa saja yang perlu diberi penekanan lebih agar generasi berikut dapat membawa timnas ke level lebih tinggi. Melalui jejaring WhatsApp, penulis mencoba melakukan riset kecil-kecilan tentang hal ini kepada para kolega pelatih. Mereka melatih di berbagai jenjang. Ada yang merupakan pelatih professional, pelatih amatir, juga pelatih SSB.

Respon para kolega amat beragam. Ada yang menyoroti pada level taktik tim, ada juga yang menyoroti level individu. Dari beragam respon para kolega, penulis berusaha merangkumnya menjadi lima poin penting. Satu poin umum, tiga soal attacking dan satu soal defending. Berikut 5 pesan penting performa timnas di Piala AFF 2016 untuk pembinaan usia muda?

Pesan #1: Bek Jago Menyerang, Striker Jago Bertahan

Sepakbola top level menuntut pemain yang memiliki kemampuan komplet. Pengertian komplet di sini adalah pemain yang mampu bertahan, menyerang dan melakukan transisi sama baiknya. Kemampuan ini terlepas apapun posisi pemain. Ya, di sepakbola top level, bek tak cukup hanya jago bertahan. Sebaliknya striker atau winger tak cukup hanya jago menyerang.

Tentu kita semua mahfum bahwa Fachrudin, Yanto Basna ataupun Hanzamu adalah bek yang memiliki kemampuan bertahan prima. Aksi pressing, tackling, defensive heading mereka peragakan dengan sangat baik. Sayangnya mereka amat buruk dalam melakukan aksi-aksi menyerang. Passing, control, membuka ruang dan penetrasi bukan sesuatu yang mereka senangi.

Tak heran bek Indonesia gagap saat harus bangun serangan dari bawah. Pada game kontra Filipina atau Vietnam misal, timnas unggul skor. Saat lawan terlihat menunggu dan tak lakukan high pressing, seharusnya timnas turunkan tempo dengan mainkan possession pasif di bawah. Kiper dan keempat bek bisa lakukan passing ke kiri, kanan dan belakang untuk membunuh permainan. Sayang, bek timnas tak cukup hebat untuk lakukan hal tersebut. Mereka memilih untuk bermain long ball tanpa arah.

Bagaimana dengan daya serang Boaz, Andik, atau Zulham? Luar biasa! Kemampuan bertahannya? Kita semua sepakat, banyak gol yang diderita Kurnia Meiga tidak melulu persoalan lini belakang. Melainkan buruknya striker atau winger dalam melakukan defending. Misal kebiasaan lambatnya winger kembali mengecil untuk ciptakan compactness selalu ciptakan lubang besar untuk lawan vertical pass ke halfspace.

Pesan #2: Pemahaman Ruang dan Pengambilan Posisi

Untuk bisa mencetak gol, pemain membutuhkan ruang. Ruang untuk melakukan finishing, ruang untuk melakukan assist dan ruang untuk lakukan berbagai aksi menyerang sebelumnya. Definisi ruang sebenarnya adalah tumbukan antara posisi berdiri tim kita dan tim lawan.

Pada prakteknya, wilayah lapangan tanpa pemain lawan berdiri adalah ruang yang harus dieksploitasi tim kita. Ada dua isu utama terkait buruknya pemahaman ruang dan pengambilan posisi pemain Indonesia. Pertama, pemain Indonesia tidak berusaha mencari posisi di ruang antar lini. Yaitu ruang diantara lini belakang dan tengah, serta antar lini tengah dan depan. Penyebaran pemain yang tidak merata di ruang antar lini menimbulkan diskoneksi. Akibatnya timnas terpaksa selalu mainkan long ball tanpa arah.

Isu kedua adalah pemain Indonesia tidak paham untuk berbagi ruang satu sama lain. Akibatnya sering terjadi kawan sendiri justru menutup jalan progresi bola ke depan. Saat Fachrudin menguasai bola misalnya Bayu Pradana datang menghampirinya. Tanpa sadar Bayu menutup jalur passing ke striker. Support sering disalahartikan dengan datangi kawan yang pegang bola. Memang masalah ini juga terjadi akibat buruknya kemampuan attacking bek Indonesia seperti diulas poin di atas.

Pesan #3: Bodyshape Saat Minta Bola

Bila posisi menentukan di titik ruang mana pemain harus bergerak dan minta bola, maka bodyshape ada bentuk postur yang harus dipasang saat berada di titik posisi tersebut. Aksi-aksi sepakbola adalah interaksi pemain dengan kawan dan lawan. Sebelum menerima bola, ia harus berkomunikasi dengan kawan dan lawan. Berdasarkan komunikasi tersebut, baru ia dapat memutuskan dan mengeksekusi receiving the ballnya.

Nah, body shape sangat berguna untuk berkomunikasi. Umumnya pemain timnas sering meminta dan menerima bola dengan body shape yang 100% menghadap ke bola. Akibatnya saat akan menerima bola, ia tidak memiliki informasi yang cukup tentang situasi yang ada di belakangnya. Body shape seperti ini menyulitkan pemain scan menengok ke belakang melihat situasi terkahir. Ujungnya pemain salah keputusan dan eksekusi.

Kurangnya informasi menurunkan akurasi pemain timnas dalam mengambil keputusan. Harusnya turning - malah backpass, harusnya backpass – malah turning. Kalaupun ternyata keputusannya benar untuk melakukan turning, terkadang pemain harus lakukan full turn. Lalu ia baru bisa melihat situasi setelah full turn untuk pilihan aksi selanjutnya. Artinya kecepatan aksi demi aksi menjadi cenderung pelan.

Pemain timnas perlu mencontoh Sarach Yooyen. Gelandang #6 Thailand ini selain punya positioning prima, body shapenya hampir selalu 90 derajat. Body shape ini membantunya dapatkan informasi. Dengan sedikit toleh kiri kanan, ia scan lihat kawan, lawan dan situasi di depan. Bila bola dipassing padanya, ia mudah ambil keputusan untuk turn atau backpass. Jika ternyata free, ia tidak perlu lakukan full turn, cukup half turn. Aksinya jadi sangat cepat dan ia bisa segera lakukan aksi berikutnya.

Pesan #4: Menggunakan Tangan untuk Lindungi Penguasaan Bola.

Salah satu detail sederhana yang terlupakan adalah tidak terbiasanya pemain Indonesia merentangkan tangannya sebelum dan sesaat menerima bola. Kebiasaan kecil ini memiliki dampat dahsyat pada penguasaan bola. Kurangnya maksimalisasi penggunaan tangan untuk memblok lawan lakukan intersep sering berujung pada hilang bola.

Melindungi penguasaan bola di kaki dengan bantuan tangan merupakan alat bantu penting. Kunci sukses sentuhan pertama dan lakukan aksi berikut diawali dengan positioning baik (Poin #2). Posisi baik menyulitkan lawan marking. Pemain punya ruang lebih yang berefek pada waktu lebih untuk memutuskan dan eksekusi. Kunci selanjutnya adalah body shape (Poin #3). Body shape baik menolong pemain gaet informasi. Sehingga pemain dapat ambil keputusan dan eksekusi tepat.

Meski demikian positioning dan body shape belum selalu cukup. Pada sepakbola top level, terkadang intensitas pressing begitu tinggi. Kualitas pressing lawan akan sulitkan pemain bisa lakukan aksi berikut setelah terima bola. Pemain tidak sempat half turn, bahkan untuk sekedar backpass. Pada situasi ini, dengan body shape dibantu bentangan tangan, pemain bisa ulur waktu untuk cari kemungkinan aksi berikutnya.

Pesan #5: Pendidikan Zonal Marking yang Tidak Tuntas.

Di era 90-an hinga akhir 2000-an, timnas dan klub Indonesia menggunakan sistem 1352 yang berbasis man to man marking. Dimana 5v5 terjadi di tengah, kemudian dua striker lawan dijaga 3 bek. Kedua striker dijaga man to man oleh 2 stoper. Sedangkan 1 bek lagi berfungsi menjadi libero. Seorang free man yang tidak marking lawan, tapi focus melapis kebocoran marking stoper.

Di Piala AFF 2004, Peter Withe mulai menggalakkan zonal marking. Ia mengubah Timnas dari sistim 2 stoper dan 1 libero menjadi flat back three berbasis zonal. Sejak itu, zonal defending popular di Indonesia. Dimana tim-tim tidak melakukan penjagaan berorientasi pada lawan, tapi berorientasi pada bola. Lawan dengan bola akan dimarking, kemudian pemain lain lakukan cover penjagaan daerah di area sekitar lokasi bola.

Sayangnya, model zonal defending tampaknya belum tersosialisasi massif. Akibatnya jelas terpampang pada aplikasi zonal defending klub ISC dan Timnas. By theory, timnas melakukan zonal defending 1442. Prakteknya, banyak pemain yang masih melakukannya dengan cara sangat man oriented. Andik Vermansyah atau Bayu Pradana misal sering memfollow lawan tanpa bola secara man to man. Ini berujung pada banyaknya gap antar pemain untuk lawan lakukan vertical pass.

Kebiasaan pemain timnas melakukan penjagaan man oriented menjadi berkah di final leg ke-1. Saat itu Kiatisuk memainkan formasi 14231 sama dengan timnas. Dengan kata lain hampir semua pemain memiliki direct opponent yang tinggal difollow dengan man to man marking ketat. Akan tetapi, timnas selalu memble dan mudah dibongkar pertahanannya saat ketemu lawan yang menempatkan jumlah pemain lebih di suatu area.

Kemampuan pemain bertahan as a unit dan as a team berbasis zonal tampak belum fasih. Ini berarti ada banyak detail yang belum tuntas didapatkan pemain dalam pembinaan usia muda mereka. Sebuah pertunjukan evaluasi yang menohok!

@ganeshaputera

kickoffindonesia.com

Pusat Kepelatihan Sepakbola

bottom of page