"Tidak ada teknik ideal, yang ada ialah teknik fungsional" - Verheijen.
Coba perhatikan klip GIF di atas. Menurut Anda mana passing yang ideal? Apakah passing yang di atas? Sebuah passing yang keras dan dapat menjangkau jarak lumayan jauh dengan cepat. Ataukah passing yang di bawah? Sebuah passing yang pelan dan hanya dapat menjangkau jarak dekat dengan lambat.
Berulang kali saya menggunakan perumpaan ini di berbagai kursus dan seminar. Hasilnya 8 dari 10 pelatih cenderung memilih passing yang di atas sebagai yang lebih baik. Tidak aneh memang. Saat Anda di lapangan, teriakan paling populer dari pelatih saat latihan passing berhadapan adalah "passing keras!".
Oke kita buktikan premis Anda. Coba tengok klip GIF di bawah ini. Ternyata passing yang ideal itu tidak selalu harus keras. Di situasi pertama, ada pemain mengoper untuk kawannya yang overlapping. Passing keras di situasi ini malah jadi prahara, karena out. Lha ngapain passing keras, kalo 5 meter di depan sudah garis?
Di situasi kedua, passing dipakai untuk progresi membelah lawan. Tentu di situasi ini, dibutuhkan passing yang keras. Passing pelan dengan gampang akan diintersep lawan. Nah, dari contoh ini sudah clear kan, bahwa tidak ada teknik yang ideal. Adanya teknik yang fungsional. Ya, berfungsi sesuai dengan situasinya.
Melatih Teknik Ideal
Kalau teknik yang ideal itu tidak eksis, mengapa ada segelintir (bahkan sebagian besar) pelatih masih terobsesi untuk melatih teknik yang ideal. Raymond Verheijen dalam suatu podcast menyampaikan bahwa "Seorang pesepakbola melakukan jutaan kali passing. Diantara jutaan passing itu, tidak sekalipun pernah ada passing yang situasinya sama."
Untuk itu, sangat aneh kalau banyak pelatih yang melakukan "stereotyping" tentang passing yang ideal. Sepakbola adalah olahraga berorientasi pada hasil. Tugas tim adalah mencoba memindahkan bola hingga melewati garis gawang lawan. Caranya? Itu tidak terlalu penting. Selama tujuan melewati garis gawang lawan tercapai, teknik yang digunakan tidak penting.
Kesimpulannya, lupakan melatih teknik yang ideal. Beralihlah untuk melatih teknik yang fungsional. Pertanyaannya bagaimana caranya pemain dapat memiliki teknik yang fungsional? Mari kita kupas!
Di tulisan perdana dan kedua, sudah dijelaskan tentang mekanisme produksi aksi. Misalkan si Mamat lagi pegang bola. Nomor satu, ia harus berkomunikasi dengan melihat sekitarnya (kawan-lawan-situasi). Informasi yang ditangkap matanya dikirim ke otak untuk diproses yang berujung pada keputusan. Setelah ada keputusan, baru Mamat mengekseksi keputusan tersebut.
Sepakbola itu dari mata, masuk ke otak, turun ke kaki! Untuk mencetak pemain yang memiliki teknik fungsional, pelatih harus membantu pemain menjadi lebih mudah dalam melihat, dalam berpikir dan dalam mengeksekusi. Lalu apa ilmu yang pelatih harus berikan?
Pertama, ilmu untuk melihat. Bukankah semua pemain punya mata dan bisa melihat? Betul, tapi pelatih harus membantu agar pemain bisa melihat lebih cepat, lebih banyak dan lebih jauh. Untuk itu diperlukan penunjang lain yakni positioning, body shape, head up dan scanning. Positioning mengacu pengambilan posisi di lapangan. Body shape mengacu pada pengambilan bentuk postural. Terakhir head up scanning adalah gerakan mendangak menggoyang kepala ke kiri ke kanan.
Sebanyak apapun informasi yang ditangkap mata menjadi percuma apabila otak pemain kosong. Ibaratnya saya bisa membaca, tapi tetap kesulitan memahami teks buku manual dokter hewan. Di sinilah pelatih harus mengambil peran. Tugas pelatih adalah mengajarkan prinsip permainan sebagai referensi di otak pemain.
Misal seorang pemain melihat bahwa di sekitarnya ada dua kawan dan dua lawan alias situasi 3v2. Pemain yang otaknya kosong, melihat hal tersebut, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia lakukan horizontal passing. Sedangkan pemain yang mengerti prinsip, akan lakukan dribble untuk matikan salah satu lawan dan membuat satu kawannya bebas. Paham bedanya ya sekarang!
Latihan Holistik
Mungkinkah melatih mata dan otak dengan latihan terisolasi tanpa lawan? Mustahil! Di latihan misal passing 2 orang saling berhadapan, mata tidak lah terangsang. Katanya, harus lihat kiri kanan sebelum terima bola. Tapi di latihan passsing berhadapan, ketika lihat kiri kanan, pemain hanya melihat angin!
Lalu bagaimana dengan stimulus otak? Di permainan, pemain harus berpikir dan ambil keputusan soal posisi, timing, arah dan kecepatan. Sayangnya di latihan passing berhadapan, hal itu tidak eksis. Posisi badan tidaklah penting. Passing sekarang atau 1 detik lagi juga tidak penting. Passing keras atau pelan juga sama saja, karena tidak akan terintersep.
Rumusnya sederhana, buatlah latihan yang selalu menyajikan situasi ada kawan dan lawan. Latihan yang terbuka berbagai opsi, sehingga pemain terangsang untuk melihat, memilih dan memutuskan. Berilah ilmu soal cara melihat dan juga prinsip-prinsip permainan.
Janganlah lagi beralasan "pemain saya belum mampu, tekniknya belum bagus!". Pertama, latihan situasi juga melatih teknik menjadi lebih baik. Kedua, kalau Anda bilang pemain belum mampu, jangan-jangan itu adalah kedok karena sebenarnya pelatihnya yang tidak mampu. Kalau Anda termasuk golongan ini, jangan malu untuk terus belajar.
Bagaimana cara mempelajarinya? Coba, jalankan dan evaluasi. Pepatah mengatakan "Orang sukses adalah mantan orang gagal yang mengevaluasi dirinya!" Tapi pastikan dulu, bahwa Anda percaya bahwa Sepakbola itu dari mata turun ke kaki. Kalau tidak percaya? Ke laut aja!
BERSAMBUNG
Ganesha Putera Founder KickOff! Indonesia
*Per Senin, 3 Agustus 2020, KickOff! sajikan rubrik baru bertajuk "Founder's Diary". Namanya juga diary, maka ya harus terbit setiap hari. Ya, ini semacam rangsangan berkomitmen untuk menulis setiap hari. Sebuah kebiasaan baik di masa lampau yang kini mulai pudar. Dukung usaha pelestarian kebiasaan baik ini dengan membacanya setiap hari! Selamat menikmati!