"Kebanyakan orang terfokus pada pembawa pesan, bukan pesannya!"
Latar belakang seseorang seringkali membangun suatu reputasi tentang kompetensi. Reputasi ini juga berujung pada persepsi publik. Dimana ada keyakinan di masyarakat bahwa apa yang diucapkannya selalu benar. Bahkan apabila yang diucapkannya pun salah akan tetap dianggap benar.
Dalam brain bias, ini yang sering disebut sebagai messenger bias. Ya, orang cenderung melihat pembawa pesan, ketimbang pesannya itu sendiri. Persepsi publik yang positif terhadap seseorang membuat apa yang dikatakan orang tersebut dianggap selalu benar. Sebaliknya persepsi publik negatif pada seseorang akan membuat yang dikatakan orang tersebut selalu salah.
Bayangkan suatu hari Mamat yang sehari-hari melatih SSB di kampung berdebat dengan Jurgen Klopp. Topiknya adalah bentuk bumi. Mamat bilang ke khalayak ramai bahwa bumi itu bulat. Itu langsung dibantah oleh Klopp yang bilang bumi itu datar. Andai Anda berada di debat terbuka tersebut, siapa yang Anda bela? Mamat atau Klopp?
Bumi Itu Bulat!
Di suatu kesempatan, saya menyempatkan diri berdiskusi dengan seseorang yang dianggap cukup punya reputasi di dunia kepelatihan. Ia adalah seorang Instruktur Elite AFC dan FIFA. Topiknya adalah soal Development Stages. Dengan lantang, ia membuka percakapan, "Indonesia harus merevolusi fokus pembinaan di usia 10 tahun ke bawah." ujarnya.
Fokus pembinaan di usia 10 tahun ke bawah haruslah ditujukan hanya pada pengembangan teknik individu pemain. Menurutnya metode latihan di usia ini haruslah detail mengajarkan sistematika gerakan teknik. Harus ada semacam manual gerakan teknik. Misal untuk melakukan passing, harus ada langkah berurutan dari mulai a, b, c, dan seterusnya.
Saya selalu respect dengan siapapun, tetapi dalam suatu diskusi penting untuk selalu terfokus pada pesan. Bukan pembawa pesannya. Saat diberi kesempatan bicara, saya memberi usul soal melihat dan ambil keputusan untuk dimasukkan ke runutan tersebut. Dia langsung menyanggah, "Tidak, untuk anak-anak, kita hanya fokus pada teknik!"
Seperti yang sudah ditulis di edisi sebelumnya, sepakbola itu dari mata, masuk ke otak, turun ke kaki. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Selain itu tidak ada stereotype teknik yang ideal. Ya, seperti bumi itu bulat! Penjelasan sang expert terdengar seperti bumi itu datar. Diskusi pun makin memanas, saya jelaskan soal mekanisme produksi aksi. Semuanya ia setuju!
Dengan kata lain, ia setuju sebenarnya bahwa bumi itu bulat, tidak datar. Tapi, ia tetap percaya bahwa manusia tidak boleh berlayar karena nanti akan ketemu lautan buntu. Ya ia percaya sepakbola itu dari mata, masuk ke otak turun ke kaki. Tapi, ia tetap yakin bahwa hanya kaki lah yang harus dilatih di fase pembinaan awal.
Hampir setahun lebih setelah kejadian tersebut, sebuah posting di Instagram @taktikbola11 memberikan pencerahan menarik. Ada kutipan dari Arsene Wenger yang tegas mengatakan, "Permasalahan terbesar di sepakbola adalah kamu dilatih dengan urutan keliru! Pertama, eksekusi, kemudian pengambilan keputusan dan terakhir adalah persepsi!" Saya sudahi tulisan ini!!
SELESAI
Ganesha Putera Founder KickOff! Indonesia
*Per Senin, 3 Agustus 2020, KickOff! sajikan rubrik baru bertajuk "Founder's Diary". Namanya juga diary, maka ya harus terbit setiap hari. Ya, ini semacam rangsangan berkomitmen untuk menulis setiap hari. Sebuah kebiasaan baik di masa lampau yang kini mulai pudar. Dukung usaha pelestarian kebiasaan baik ini dengan membacanya setiap hari! Selamat menikmati!