top of page
K! EVENT
Recent Posts

[Founder's Diary] Sang Juara Muncul dari Ketidaknyamanan


"Fasilitas bukan satu-satunya faktor sukses. Pola pikir adalah yang utama" - Stephen Francis.

Semua tak meragukan lagi kehebatan Jamaika di dunia atletik, terutama pada nomor sprint. Berbagai event utama Atletik dunia seperti Olimpiade, Kejuaraan Dunia dan Grand Prix didominasi atlet putra dan putri Jamaika. Tahukah Anda bahwa banyak atlet top atletik Jamaika datang dari satu klub yang sama?

Klub itu bernama MVP Track and Field Club yang didirikan oleh Stephen Francis, seorang penggila atletik. Kenapa gila? Dari perawakannya, ia lebih cocok dikategorikan sebagai pelatih sumo ketimbang atletik. Ia sendiri tak pernah berlari. Ia adalah seorang Sarjana Statistik dari University of Michigan.

Klub ini memang nyentrik. Jika masuk ke situs-nya, Anda akan menemukan misi klub yang unik. Salah satunya adalah "meyakinkan atlet sma terbaik Jamaika, bahwa menerima beasiswa pelajar atlet dari Amerika bukan satu-satunya opsi. Bahkan bukan opsi terbaik!" Misi yang nyleneh, sekaligus pede bisa saingin sistim pembinaan di negara super power Amerika Serikat.

Nyleneh, tapi tidak omdo! Tangan dingin Stephen Francis telah terbukti mencetak atlet top dunia. Nama-nama seperti Asafa Powell, Nesta Carter, Sheyrrl Ann Fraser, Sharicka Jackson, dll adalah jebolan klub ini. Tak terhitung lagi berapa rekor dunia , keping medali olimpiade dan titel juara dunia yang telah dicatatkan atlet MVP.

Fasilitas untuk Kerja Keras

Ketika mendengar Pusat Latihan yang sukses, pasti terbayang akan pelatih berlatar belakang hebat dan fasilitas mewah. Persyaratan pertama soal latar belakang pelatih telah digugurkan oleh Francis. Kecintaannya terhadap dunia atletik mengalahkan latar belakang non atletik dan tubuh tambunnya itu.

Bagaimana dengan fasilitas? Di buku Gold Mine Effect, Rasmus Ankersen menceritakan kunjungannya ke Pusat Latihan MVP. Pagi subuh, Rasmus tiba di sebuah padang rumput besar diantarkan oleh taksi. Rasmus merasa aneh, "mengapa tidak ada lintasan atletik?" gumamnya. Ia pun minta supir taksinya menunggu. Ia yakin, ia telah diantarkan ke alamat yang salah.

Beberapa menit kemudian, matahari terbit dan para atlet mulai bermunculan. Setelah terang, barulah terlihat lintasan atletik. Bukan warna merah lintasan tartan, tapi warna hijau lintasan rumput. Ya, MVP tidak memiliki memiliki lintasan atletik tartan. Adanya cuma padang rumput luas yang dijadikan lintasan atletik.

Lintasan Atletik Klub MVP

Saat masuk ke dalam, Rasmus makin kaget. Segala fasilitas MVP memang tersedia, tapi sangat jadul dan busuk. Ruang Gym-nya kumal dan pengap, dengan alat beban berkarat. Di bukunya, Rasmus membahasakan bahwa peralatan Gym MVP berasal dari era Jane Fonda (artis Hollywood tahun 60-an).

Aneh tapi nyata. Klub MVP yang telah sukses menelurkan atlet dunia pasti bukanlah klub miskin. Mengapa MVP tak ingin merenovasi fasilitasnya? Hal itu ditanyakan langsung Rasmus ke Francis. Jawab Francis begini, "Kita tidak boleh membangun fasilitas untuk kenyamanan, kita harus membangun fasilitas untuk mereka bekerja keras," pungkasnya. Fungsionalitas fasilitas lebih penting. Tak perlu fasilitas kelas satu, yang penting cukup untuk kebutuhan latihan. Fasilitas kelas satu membuat atlet berpikir mereka "sudah" jadi atlet nomor satu. Padahal mereka masih belajar untuk jadi nomor satu. Fasilitas pas-pasan adalah ujian untuk atlet, "Seberapa besar mereka INGIN menjadi JUARA?," seru Francis.

Fasilitas Memanjakan

Bagaimana dengan di Indonesia? Mudah-mudahan banyak pihak tidak salah menerjemahkan kisah Klub MVP di atas. Takutnya nanti para pejabat jadi tak merasa perlu untuk bangun lapangan sepakbola. Untuk pembinaan usia muda, tak perlu fasilitas mewah. Tapi ya tetap harus ada fasilitas!

Tidak perlu lapangan dengan rumput nomor satu, tapi ya tetap harus ada lapangan rumput yang rata. Tidak perlu gym mewah ala Gold Gym, tapi ya harus ada peralatan latihan beban. Harus dibedakan, memiliki fasilitas fungsional pas-pasan dengan TIDAK ADA fasilitas!

Bambang Pamungkas menyatakan umumnya pesepakbola kita belum memiliki mindset profesional. Alias belum total bekerja keras untuk peningkatan performa. Pertanyaannya mengapa pesepakbola muda Indonesia motivasi internalnya rendah walaupun fasilitasnya tidak ada? Di republik ini, fasilitas infrastruktur nol besar, tapi lingkungannya gemar berikan fasilitas nomor satu dalam bentuk lain. Termasuk pada pemain usia muda sekalipun!

Tidak perlu bicara timnas usia muda. Kita contohkan saja di level paling bawah SSB. Banyak SSB buat training center untuk menghadapi suatu turnamen. Dari mulai pemain bangun tidur hingga menutupkan mata, semua fasilitas sudah tersedia.

Subuh, pemain sudah dibangunkan. Sarapan pun sudah tersedia. Jelang latihan, seragam dan peralatan sudah disiapkan kitman. Setelah selesai, seragam dikumpulkan untuk dicucikan kitman. Malam hari, HP dikumpulkan, lalu pemain ditidurkan. Sepanjang hari pemain hanya melakukan satu aktivitas, yaitu: BERNAPAS! Manajemen Diri Lalu kapan pemain berpikir soal manajemen diri? Mari bandingkan dengan pesepakbola muda di Eropa. Bangun tidur, mereka langsung membuka aplikasi untuk mendokumentasi denyut nadi basal, berat badan, kualitas tidur dan mood. Lalu memasak sarapan dan bekal untuk makan siang di sekolah.

Dari sekolah, pemain tiba di tempat latihan. Pemain langsung ambil map yang ada namanya. Di map tersebut tertulis daftar tugas. Pertama adalah nonton video lalu buat Self Analysis. Tugas berikutnya tak ada hubungan dengan sepakbola. Misal siapkan air minum dan perlengkapan atau bersihkan kamar ganti.

Daftar Tugas Pemain Chelsea U18

Setelah itu, masuk gym untuk jalankan program individu. Lalu buat laporan pelaksanaan latihan. Pelatih fisik hanya mengawasi secara umum dan stand by apabila pemain ingin konsultasi. Menu hari itu ditutup dengan latihan tim dan pemain boleh pulang ke rumah. Di rumah, pemain kembali mengisi evaluasi diri via aplikasi sebelum tidur.

Tidak ada yang larang main HP. Tidak ada yang larang pemain begadang. Tidak ada yang bangunkan tidur. Tidak ada yang siapkan peralatan. Lalu bagaimana? Menjadi pesepakbola top level, adalah impian pemain itu sendiri. Tugas pembina adalah menciptakan lingkungan positif. Lingkungan yang menguji motivasi pemain, "Seberapa besar keinginan mereka ingin menjadi pesepakbola dunia?"

Ganesha Putera Founder KickOff! Indonesia

*Per Senin, 3 Agustus 2020, KickOff! sajikan rubrik baru bertajuk "Founder's Diary". Namanya juga diary, maka ya harus terbit setiap hari. Ya, ini semacam rangsangan berkomitmen untuk menulis setiap hari. Sebuah kebiasaan baik di masa lampau yang kini mulai pudar. Dukung usaha pelestarian kebiasaan baik ini dengan membacanya setiap hari! Selamat menikmati!

bottom of page